Rukun nikah menurut Mahmud Yunus merupakan bagian dari segala hal
yang terdapat dalam perkawinan yang wajib di penuhi. Kalau tidak terpenuhi pada
saat berlangsung, perkawinan tersebut dianggap batal. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (Pasal 14), rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu adanya:
1.
Calon suami;
2.
Calon istri;
3.
Wali nikah;
4.
Dua orang saksi;
5.
Ijab dan kabul.
Sulaiman Rasyid (2003:382) menjelaskan perihal yang sama bahwa
rukun nikah adalah sebagai berikut:
Pertama: Adanya Sighat
(akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali, “Saya
nikahkan engkau dengan anak saya bernama Surtini.” Boleh juga di dahului oleh
perkataan dari pihak mempelai, seperti, “Nikahkanlah saya dengan anakmu.” Wali
menjawab, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya ...,” karena maksudnya sama.
Tidak sah akad nikah, kecuali dengan lafazh nikah, tazwij, atau terjemah
keduanya.
Kedua: Adanya wali
(wali si perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi Muhammad SAW.: “Barang
siapa di antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya
batal.” (H.R. empat orang ahli hadits, kecuali Nasa’i).
Ketiga: Adanya dua
orang saksi. Rasulullah SAW. Bersabda: “Tidak sah nikah, kecuali dengan wali
dan dua saksi yang adil.” (H.R. Ahmad).
Syarat-syarat Pernikahan
Syarat-syarat pernikahan berkaitan dengan rukun-rukun nikah yang
telah di kemukakan di atas. Jika dalam rukun nikah harus ada wali, orang yang
menjadi wali harus memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan oleh Alquran,
Alhadits, dan Undang-undang yang berlaku.
Yang di anggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah
menurut susunan di bawah ini:
·
Bapaknya,
·
Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuannya),
·
Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya,
·
Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya,
·
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak
dengannya,
·
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja
dengannya,
·
Saudara bapak yang lalki-laki (paman dari pihak bapak),
·
Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya,
·
Hakim.
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sah nya akad pernikahan. Oleh
karena itu, tidak kecuali saksi dari orang-orang yang memiliki beberapa sifat
berikut:
·
Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi
wali atau saksi,
·
Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun),
·
Berakal,
·
Merdeka,
·
Laki-laki,
·
Adil.
Adapun pasangan-pasangan yang haram atau mahram adalah sebagai
berikut.
·
Tujuh orang dari pihak keturunan;
·
Dua orang dari sebab menyusui;
·
Lima orang dari sebab pernikahan;
Syarat saksi adalah: berakal sehat, dewasa, dan mendengarkan
omongan kedua belah pihak yang berakad, dan memahami bahwa maksud
ucapan-ucapannya itu adalah ijab-kabul pernikahan. Bila para saksi itu buta,
hendaklah mereka bisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul bahwa suara
tersebut adalah suara kedua orang yang berakad.
Imam syafi’i mengemukakan
bahwa syarat-syarat saksi adalah:
·
Dua orang saksi,
·
Berakal,
·
Balig,
·
Islam,
·
Mendengar,
·
Adil.
Berkenaan dengan masalah keadilan seorang saksi, Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkanharus
orang yang adil. Jadi, pernikahan yang disaksikan oleh saksi yang tidak adil,
hukumnya tetap sah. Setiap orang yang pantas menjadi saksi, dapat menjadi
saksi, karena maksud adanya saksi adalah untuk diketahui umum.
Akad nikah akan dianggap sah apabila disaksikan oleh dua orang.
Golongan Syafi’i dan Hambali mensyaratkan bahwasaksi itu harus
terdiri atas laki-laki. Akad nikah dengan seorang laki-laki dan dua orang
perempuan juga tidak sah.
Syarat lainnya adalah kedua mempelai harus kafa’ah atau
sepadan. Akad nikah itu sama dengan jual beli karena merupakan perjanjian
timbal balik yang dianggap sah dengan saksi dua orang perempuan disamping
seorang laki-laki. (Slamet Abidin, Aminudin, 1999: 103)
Meskipun bukan termasuk syarat, Rasulullah SAW. Menganjurkan agar
pasangan yang akan menikah hendaknya sepadan atau sekufu. Prinsip kafa’ah
atau sepadan dalam pernikahan antara laki-laki dan perempuan terdiri atas lima
sifat, yaitu menurut tingkat kedua ibu bapak.
1.
Agama,
2.
Merdeka atau hamba,
3.
Perusahaan,
4.
Kekayaan,
5.
Kesejahteraan.
Kufu ini tidak
menjadi syarat sah pernikahan. Akan tetapi, jika tidak ada keridaan
masing-masing, salah satu pihak boleh membatalkan pernikahan itu dengan alasan
tidak kufu (setingkat).
Dalam perkawinan harus ada akad yang jelas dalam bentuk ijab kabul
antara calon mempelai laki-laki dan wali dari calon mempelai perempuan. Ijab
kabul ini merupakan hal yang paling pokok dalam perkawinan. Perkawinan, menurut
Rahmat Hakim, harus di dasarkan pada sikap saling merelakan, seperti halnya
jual beli. Persetujuan dan kerelaan dengan ikatan tersebut. Karena bersifat
abstrak dan psikologis sehingga sulit diketahui, persetujuan dan kerelaan harus
divisualisasikan dalam bentuk lambang yang konkret dan terdengar sehingga dapat
diketahui dengan jelas.
Untuk itu, ijab kabul harus berbentuk kata-kata atau isyarat yang
dapat di mengerti seperti pernyataan yang menetapkan kehendak untuk menikah.
Pernyataan ijab kabul dalam perkawinan yang datang dari pihak
istri, dalam terminologinya di sebut ijab, sedangkan pernyataan yang
datang dari pihak laki-laki yang menyetujui terjadinya pernikahan disebut
kabul, sebagai bentuk legal dan formal yang merupakan hak wali mempelai
perempuan.
Hikmah pernikahan
Pernikahan dapat dikatakan sebagai perjanjian pertalian antara
manusia laki-laki dan perempuan yang berisi persetujuan secara bersama-sama
menyelenggarakan kehidupan yang lebih akrab menurut syrat-syarat dan hukum
susila yang di benarkan Tuhan Pencipta Alam. Di mata orang yang memeluk agama,
titik berat pengesahan hubungan di ukur dengan ketentuan-ketentuan yang telah
di tetapkan Tuhan sebagai syarat mutlak. Bagi orang-orang yang tidak mendasarkan
titik berat pengesahan itu pada hukum ilahi, pernikahan dalam teori dan
praktiknya merupakan suatu kontrak sosial yang berisi persetujuan bahwa mereka
akan hidup sebagai suami-istri untuk selama-lamanya atau untuk masa tertentu.
Persetujuan itu di akui oleh undang-undang atau oleh adat di dalam suatu
masyarakat atau daerah yang membolehkannya.
Pernikahan adalah jalan yang halal dan wajar untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Pemenuhan kebutuhan jasmani itu, bila
dialirkan pada saluran yang halal, niscaya tidak memunculkan perasaan bersalah
atau berdosa, sebagaimana akibat yang timbul dari perbuatan seksual yang
dilakukan di jalan haram.
Pernikahan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan
sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. Dengan menikah, badan
jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan
perasaan tenang menikmati barang yang halal.
Banyak nya jumlah keturunan mempunyai kebaikan umum dan khusus,
sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan keras untuk memperbanyak jumlah
rakyatnya dengan memberikan perangsang-perangsang melalui pemberian upah bagi
orang-orang yang mempunyai banyak anak. Bahkan, ada pepatah: “Semboyan ini
hingga sekarang tetap berlaku dan belum pernah ada yang membatalkannya.
Dengan pernikahan di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh, kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan
kemasyarakatan yang memang oleh Islam di restui, di topang, dan di tunjang.
Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan
masyarakat yang kuat lagi bahagia.
Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional
terbitan Sabtu 6/6 1959 disebutkan, bahwa orang yang berumah tangga umumnya
lebih panjang umur daripada orang-orang yang tidak berumah tangga, baik karena
janda, cerai, atau sengaja membujang.
Rahmat Hakim (2000:27-30) memaparkan bahwa hikmah nikah adalah
sebagai berikut:
1. Menyambung silaturahim
Pernikahan
adalah kelanjutan hubungan interaksi atau silaturahim, sebab dengan pernikahan
terbentuk sebuah keluarga, sedangkan keluarga adalah embrio dari masyarakat dan
masyarakat merupakan embrio sebuah negara. Tanpa pernikahan, negara tidak akan
pernah terbentuk.
2. Mengendalikan nafsu syahwat yang liar
Seorang
yang belum berkeluarga tidak mempunyai ketetapan hati dan pikirannya pun masih
labil. Dia tidak mempunyai pegangan dan tempat untuk menyalurkan ketetapan hati
dan melepaskan kerinduan serta gejolak nafsu syahwatnya. Sangat wajar apabila
seorang pemuda selalu berkhayal, bahkan berpindah-pindah khayalan. Ia
membayangkan setiap lawan jenis yang tidak jelas. Mata dan hatinya liar. Karena
sifat-sifat itulah, sebagian masyarakat, terutama kaum santri di Jawa Barat
mengatakan bahwa bujangan tidak sah menjadi imam. Secara yuridis kaidah
tersebut patut di pertanyakan, namun secara empiris di rasakan bahwa memang
begitulah keadaan seorang bujangan. Dengan pernikahan, sifat-sifat seperti itu
– walaupun tidak seluruhnya – dapat di kendalikan dengan baik dan benar menurut
syariat Islam dan nilai-nilai kemanusiaan.
3. Menghindari diri dari perzinaan
Pandangan
yang liar adalah awal dari keinginan untuk berbuat zina. Seperti yang telah
diutarakan, godaan untuk melakukan kemaksiatan di dunia ini sangat banyak dan
beragam, suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab.
Instuisi pernikahan merupakan terapi bagi mereka yang masih membujang.
4. Estafeta amal manusia
Kehidupan
manusia di bumi ini sangat singkat dan di batasi waktu. Ironisnya, kemauan
manusia banyak yang melampaui batas umurnya dan batas kemampuannya. Pertambahan
usia menyebabkan berkurangnya kemampuan karena kerja seluruh organ makin
melemah. Akibatnya, kreativitas dan produktivitas menurun baik secara kualitas,
maupun kuantitas, hingga saat ajal datang menjemput.
Untuk
melanjutkan amal serta cita-cita nya yang terbengkalai, di perlukan seorang
penerus yang dapat meneruskan amal dan cita-cita tersebut. Anak sebagai
pelanjut cita-cita dan penambah amal orang tuanya, hanya mungkin di dapat
melalui pernikahan.
5. Estetika kehidupan
Pada
umumnya, manusia mempunyai sifat materialistis. Manusia selalu menghendaki
perhiasan yang banyak dan bagus. Entah itu emas permata, kendaraan, rumah
mewah, alat-alat elektronik, maupun perhiasan yang imateriel, seperti titel dan
pangkat. Menurut ajaran Islam, wanita yang shalehah adalah perhiasan yang
terbaik di antara perhiasan duniawi seperti sabda Nabi Muhammad SAW., “Dunia
ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalehah.”
Jadi,
pernikahan bukan pada segi fisiknya semata, tetapi pada sikap hidup, dan akhlak
yang baik.
6. Mengisi dan menyemarakkan dunia
Upaya untuk memakmurkan dunia dan alam ini, di
perlukan sumber daya manusia yang banyak untuk mengolah sumber alam agar dunia
ini makmur. Pernikahan sebagai satu-satunya alat reproduksi generatif yang
legal dan terhormat adalah satu-satunya cara untuk menuju tujuan tersebut.
7. Menjaga kemurnian nasab
Menjaga
keturunan atau dalam istilah hukum Islam di sebut dengan hifzh an-nasb
adalah sesuatu yang dharury (sangat esensial). Hal ini karena
ketiadaannya dapat menciptakan krisis kemanusiaan, suatu malapetaka yang sangat
besar dan merusak sendi-sendi kemanusiaan. Oleh karena itu, reproduksi generasi
di luar ketentuan nikah, tidak mendapatkan legitimasi dan di tentang keras oleh
agama Islam. Selain tidak sesuai dengan etika kemanusiaan, dapat pula
mengacaukan nasab (keturunan), menghasilkan generasi yang syubhat (generasi
yang samar-samar).
Dasar hukum akad nikah
Pernikahan
adalah suatu perbuatan yang sangat di anjurkan oleh Rasulullah SAW. Dan akadnya
merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh di anggap main-main.
Oleh karena itu, akad nikah harus di dasarkan pada landasan dan pondasi yang
kuat, ibarat suatu bangunan yang kokoh dan kuat karena pondasinya.
Secara umum,
landasan akad nikah harus di dasarkan pada tiga hal, berikut.
1. Keyakinan atau Keimanan
Iman merupakan sesuatu yang sangat penting
bagi kehidupan seseorang. Iman akan menentukan seseorang bisa meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat. Imanlah yang menjadi syarat
2. Al-Islam
3. Al-Ihsan
0 Komentar