Dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah diatur oleh
hukum, baik itu hukum negara, hukum agama, maupun hukum adat, semuanya sudah
diatur sedemikian mungkin. Didalam hal perkawinan pun juga telah diatur menurut
agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum tentang perkawinan.
Begitu pun dalam Agama Islam telah diatur hukum-hukum pernikahan yang sesuai
dengan kaidah-kaidah Islam. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
pernikahan. Ada yang mengatakan hukum pernikahan itu wajib, ada juga sebagian
mengatakan sunnah, dan selebihnya berkata hukum pernikahan itu mubah. Perbedaan
pendapat ini disebabkan adanya perbedaan penafsiran terhadap bentuk kalimat
perintah dalam Al-Qur’an maupun hadist yang berkaitan dengan masalah ini.
Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab yang berbeda
pendapat didalam mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan. Berdasarkan
Al-qur’an dan As-sunnah, islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang
mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian kalau dilihat dari segi
kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan dari perkawinan, maka
melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Mubah,
Makruh, dan bisa menjadi haram.
1.
Pernikahan Hukumnya Wajib
Suatu pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya apabila
seseorang sudah mampu melakukan perkawinan dan nafsunya sudah mendesak dan
ditakutkan akan terjerumus dalam perzinaan, maka baginya wajib melakukan
pernikahan. Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat
tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan
takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah
SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya
:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya :
“Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” [Q.S. An-Nur (24) :
33]
2.
Pernikahan Hukumnya Sunnah
Adapun bagi
orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat
menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Berkata Imam Nawawi
: “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa
perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban dan tidak diketahui
seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya
dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “
Sebagaimana Allah SWT. berfirman :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا
Artinya :
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [Q.S.
An-Nisa (4) : 3]
3.
Pernikahan Hukumnya Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak
mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya
dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika
karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau
menuntut sesuatu ilmu.
4.
Pernikahan Hukumnya Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan
yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk
kawin, maka hukumnya mubah.
5.
Pernikahan Hukumnya Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan
batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin.
Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai
istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah
boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya kepada istrinya
atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman
:
..... وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا ......
Artinya :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan
tanganmu sendiri.” [Q.S. Al-Baqarah (2) : 195]
0 Komentar