Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan
dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang perempuan yang bukan mahrom.
Kata “nikah”
berasal dari bahasa arab nikaahun yang merupakan masdar atau asal dari
kata kerja nakaha Sinonimnya tazawwaj kemudian di terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata nikah telah di bakukan
menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, secara sosial, kata pernikahan di
pergunakan dalam berbagai upacara perkawinan. Di samping itu, kata “pernikahan”
tampak lebih etis dan agamis dibandingkan dengan kata “perkawinan”. Kata
“perkawinan” lebih cocok untuk makhluk selain manusia.
Menurut isilah
ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan
melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh “nikah” atau “tazwij”.
Nikah atau jima’,
sesuai dengan makna linguisiknya, berasal dari kata “al-wath’”., yaitu
bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan untuk
berhubungan seks dengan lafazh “an-nikah” atau “at-tazwij”,
artinya bersetubuh, dengan pengertian menikahi perempuan makna hakikatnya
menggauli istri dan kata “munakahat” di artikan saling menggauli.
Pada hakikatnya,
akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan
manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya, melainkan antara dua
keluarga. Baiknya pergaulan antara istri dan suaminya, kasih mengasihi, akan
berpindah kepada semua keluarga kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi
integral dalam segala urusan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah
segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan, seseorang akan terpelihara
dari godaan hawa nafsunya.
Ikatan perkawinan
yang di lakukan dengan jalan akad nikah seperti yang telah di atur oleh Islam
adalah suatu ikatan atau suatu janji yang kuat, seperti yang di sebut Alquran
sebagai mitsaqan ghalidhan sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa ayat
21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ
إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya:
“Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Esensi perkawinan tidak di titik
beratkan kepada masalah biologis semata, melainkan adanya suatu kewajiban untuk
menciptakan pergaulan yang harmonis yang di liputi rasa sayang menuju cia-cita
bersama.
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab 1 Dasar
Perkawinan Pasal 1 di nyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.” (Anonimous, 2004:8)
Dari pengertian tersebut, ada lima mendasar yang secara substansial
berkaitan erat dengan pernikahan atau perkawinan yang di lakukan oleh manusia,
yaitu sebagai berikut.
1.
Dalam pernikahan terdapat hubungan timbal balik dan hubungan
fungsional antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan;
2.
Dalam pernikahan terdapat kebulatan tekad di antara kedua belah
pihak untuk mengucapkan janji suci untuk menjadi pasangan suami-istri;
3.
Dalam pernikahan terdapat penentuan hak dan kewajiban suami-istri
secara proporsional;
4.
Dalam pernikahan terdapat hubungan genetik antara pihak suami dan
keluarganya dengan pihak istri dan keluarganya;
5.
Dalam pernikahan terdapat harapan dan cita-cta untuk menciptakan
regenerasi yang abadi sehingga anak keturunan akan melanjutkan hubungan
silaturahim tanpa batas waktu yang di tentukan.
0 Komentar