A. Kurikulum Pendidikan
Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu curiculum,
yang artinya a running course atau race course, especially a chariot
race course. Dalam bahasa Prancis, yaitu courier, artinya berlari (to
run). Kemudian, istilah tersebut digunakan untuk sejumlah courses atau
mata kuliah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
Istilah kurikulum kemudian berkembang dengan berbagai arti. Secara
tradisional, kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan
di sekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak
dianut sampai sekarang, termasuk di Indonesia.[1]
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan pendidikan atau
pengajaran dan hasil pendidikan atau pengajaran yang harus dicapai oleh anak
didik, kegiatan belajar mengajar, pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam
pengembangan kurikulum itu sendiri.[2]
Setiap
kurikulum memiliki beberapa prinsip, Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan[3]
mengemukakan, prinsip kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip
pertama, yaitu pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan
nilainya
2.
Prinsip
kedua, yaitu prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungan
kurikulum.
3.
Prinsip
ketiga, yaitu keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum.
4.
Prinsip
keempat, yaitu berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar.
5.
Prinsip
kelima, yaitu pemeliharaan perbedaan individual antara anak didik dalam bakat,
minat, kemampuan, kebutuhan, dan masalahnya, dan juga pemeliharaan perbedaan
dan kelainan diantara alam sekitar dan masyarakat
6.
Prinsip
keenam, yaitu prinsip perkembangan dan perubahan Islam yang menjadi sumber
pengambilan falsafah, prinsip, dasar kurikulum.
7.
Prinsip
ketujuh, yaitu adanya prinsip pertautan antara mata pelajaran dan aktiva yang
terkandung dalam kurikulum
Dengan
demikian, kurikulum yang berbasis pada visi dan misi lembaga pendidikan
merupakan kurikulum yang mengantarkan anak didik mencapai tujuan lembaga
pendidikan yang mewakili pendidikan itu sendiri. Artinya, ilmu pengetahuan yang
ditransfer kepada anak didik menjadi bekal hidup di masyarakat, atau memiliki
manfaat yang bermakna dalam kehidupan. Agar berfungsi sebagai alat yang efektif
untuk mencapai tujuan tersebut, kurikulum harus mengandung tata nilai yang intrinsik
dan ekstrinsik dalam merealisasikan tujuan pendidikan.
Dalam
filsafat pendidikan, hakikat kurikulum adalah pola pembentukan karakter anak
didik. Oleh karena itu, kurikulum akan membawa alam pikir anak didik menuju
wujud yang baru dan berbeda. Para pendidik akan menyampaikan mata pelajaran
sesuai dengan kurikulum yang dianut. Apabila kurikulumnya berbasis kompetensi,
anak didik harus dikembangkan kecerdasannya agar memiliki kemampuan bersaing
dengan anak didik lainnya. Lembaga pendidikan bersaing satu sama lainnya ketika
menerapkan kurikulum dalam proses belajar mengajar. Demikian pula, para
pendidik yang menjalani suatu kompetisi dalam pengembangan ilmunya, diharuskan
memperoleh sertifikasi sebagai guru atau pendidik yang professional di bidang
ilmunya masing-masing.[4]
B.
Tafsir Tahlili-Muqaran Q.S Asy-Syura 36-43 “Nilai-Nilai Mulia”
“Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu
adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal.” (36) “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi
maaf.”(37) “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.” (38) “Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
zalim mereka membela diri.” (39) “Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik[1345] Maka pahalanya
atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
zalim.” (40) “Dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya,
tidak ada satu dosapun terhadap mereka.” (41) “Sesungguhnya dosa itu atas
orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi
tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih.” (42) “Tetapi orang yang
bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu Termasuk
hal-hal yang diutamakan.” (43). (Q.S Asy-Syuraa : 36-43)
a.
Tafsir Al-Azhar
“Maka apa
jua pun yang dianugerahkan kepada kamu maka itu hanyalah bekal hidup di dunia
ini saja. Dan apa yang di sisi Allah itulah yang baik dan lebih kekal, untuk
orang-orang yang beriman dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri”
Syukurilah nikmat Allah, jika kita diberi-Nya apa-apa di dunia ini. Banyak atau
sedikit nikmat itu, janganlah dipersoalkan, semua nikmat Allah kepada diri kita
akan terasa banyaknya apabila kita bandingkan kepada orang yang hanya mendapat
sedikit dan dia akan terasa sedikit kalau melihat, menengadah kepada orang yang
kita lihat mendapat banyak. Dengan iman dan tawakal berserah diri maka
pemberian di dunia yang sedikit itu tidak itu tidak akan membuatmu lupa diri
jika ada dan tidak membuat engkau canggung jika dia pergi dari engkau, dan
tidak akan membuat engkau bermata ke belakang jika datang saatnya engkau
dipanggil Allah.
”Dan
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa yang besar dan yang keji. Dan apabila
marah, mereka mengampuni”. Dosa-dosa besar diantaranya ialah
mempersekutukan Allah, mendurhakai ibu bapak, naik saksi dusta, dan sebagainya. Dosa besar juga ialah
sombong, dengki, riya, dan hasut fitnah. Kemudian itu kalau marah, suka memberi
maaf, tidak pendendam.
“Dan
orang-orang yang menyambut akan (ajakan) dari Tuhan mereka”. Yaitu
mengerjakan segala yang diperintah Allah dan menghentikan segala yang
dilarang-Nya. Karena iman saja, barulah pengakuan. Belum ada artinya “percayakah
engkau kepada-Ku?”tentu kita jawab “percaya” lalu Allah bertanya
lagi “sudah engkau sambut ajakan-ku?” Apa jawab kita? Diantara sekalian
ajakan Allah itu, di ayat ini ditegaskan satu hal, yaitu “Dan mereka
mendirikan shalat”. Sebab shalat itu ialah tanda pertama dan utama dari
iman. Shalat ialah masa berhubungan dengan Allah sekurangnya lima kali sehari
semalam. “Dan sebagian dari rezeki yang kami anugerahkan, mereka nafkahkan”,
ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa hasil iman seseorang itu bukanlah
semata-mata untuk dirinya saja. Iman bukan semata-mata hubungan pribadi orang
seorang dengan Allah, tapi di samping dengan Allah, iman pun membawa hubungan
pribadi dengan urusan bersama yang langsung.
“Dan bagi
orang-orang yang ditimpa penganiayaan, mereka pun membalas”, menilik
susunan ayat dari atasnya, teranglah bahwa kalau seorang membalas karena dia
dianiaya, tidaklah keluar dari garis ketentuan iman, melainkan termasuk dalam
rangka iman juga.
”Dan balasan
atas satu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan dia”, disini
masuklah ijtihad tentang pentingnya hakim atau pemerintahan. Maka ulama-ulama
fiqh atau ulama ilmu kalam dalam Islam, ijma (sependapat) bahwa salah satu
sebab maka pemerintahan mesti berdiri ialah karena untuk keseimbangan diantara
si lemah dengan di kuat, janganyang lemah teraniaya dan yang kuat menganiaya.
”Sesungguhnya
Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang zalim”, intisari ayat ialah bahwa
memberi maaf dan mencari jalan damai dari pihak yang teraniaya adalah karena
timbul dari kekuatan jiwanya, bukan karena kelemahannya.
”Dan
sesungguhnya orang yang membalas sesudah teraniaya maka buat mereka tidak ada
jalan buat diapa-apakan”, karena membalaskan penganiayaan itu adalah
haknya. “ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya manusia dan
berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut hak. Bagi mereka itu
adalah adzab yang pedih”, keadilan, kemakmuran, dan keamanan itulah yang
dicita-citakan masyarakat yang demikian. Dengan demikian, nyatalah bahwa
cita-cita menegakan iman itu bukanlah semata-mata untuk kesucian pribadi,
tetapi mempunyai kelanjutan kepada keamanan dan kemakmuran bernegara.
“Dan
sesungguhnya orang-orang yang sabar dan memberi ampun, sesungguhnya yang
demikian adalah dari sepenting-penting perbuatan”, membalas baik dengan jahat adalah perangai yang serendah-rendahnya,
membalas baik dengan baik adalah hal yang patut dibiasakan, tetapi membalas
jahat dengan baik adalah cita-cita kemanusiaan yang setinggi-tingginya. Kita
harus sanggup membiarkan cita-cita itu tumbuh menjadi kenyataan.[5]
b.
Tafsir Ibnu Katsir
Allah SWT. berfirman, merendahkan kehidupan dunia dan perhiasannya serta
keindahan dan kenikmatan fana yang terdapat didalamnya dengan firman-Nya : “Maka
sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia.”
Yakni apa saja yang kalian raih dan kalian kumpulkan, maka janganlah kalian
tertipu karena itu semua adalah fana. ”dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal” yakni pahala di sisi
Allah lebih baik daripada dunia, karena dia kekal selama-lamanya.
Untuk itu Allah
Ta’ala berfirman ”Bagi orang-orang yang beriman” yaitu bagi orang-orang
yang sabar dalam meninggalkan kelezatan dunia. “dan hanya kepada Rab mereka,
mereka bertawakal” Yakni, guna menolong mereka bersikap sabar dalam
menunaikan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai larangan.
Kemudian Allah
Ta’ala berfirman “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji”
pembicaraan tentang dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji telah
dijelaskan dalam surat Al-A’raaf “Dan
apabila mereka marah, mereka memberi maaf”, Yakni tabi’at mereka menyebabkan mereka berlapang dada dan memaafkan
manusia, bukan mendendam manusia.
Firman Allah ”Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rab-Nya”Yakni, mengikuti Rasul-Nya, mentaati
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. “Dan mendirikan shalat” dan shalat merupakan ibadah terbesar
kepada Allah. “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” Yaitu, mereka tidak menunaikan satu
urusan hingga mereka bermusyawarah agar mereka saling dukung-mendukung dengan
pendapat mereka, seperti dalam peperangan dan urusan sejenisnya. ”dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” Hal itu dilakukan dengan berbuat baik
kepada para mahluk Allah, dari mulai kerabat dan orang-orang terdekat
setelahnya.
Firman Allah ”Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
zhalim, mereka membela diri” Yakni, sebenarnya mereka memiliki kemampuan
membela diri dari orang yang menzhalimi dan sewenang-wenang terhadap mereka,
akan tetapi sekalipun mereka mampu, mereka tetap memberikan maaf
Firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala “Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa” seperti firman Allah Ta’ala di ayat lain :”Oleh
sebab itu barang siapa yang menyerangmu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu” (Q.S Al-Baqarah : 194). Maka, Dia mensyari’atkan
keadilan, yaitu qishash serta menganjurkan keutamaan, yaitu memaafkan. Firman
Allah Tabaaraka wa Ta’ala “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim” Yakni, orang-orang yang melampaui
batas, yaitu orang yang memulai berbuat kesalahan. Kemudian Allah berfirman “Dan
sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu
dosa pun atas mereka” Yakni, tidaklah berdosa jika mereka melakukan
pembelaan diri dari orang yang menzhalimi mereka.
Allah SWT. berfirman “Sesungguhnya dosa itu” Yakni, kesalahan dan kebinasaan itu, “Atas
orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi
tanpa hak” Yaitu, orang yang memulai kezhaliman kepada manusia. “Mereka
itu mendapat adzab yang pedih” yakni, keras dan menyakitkan.
Kemudian Allah SWT. setelah mencela tindak kezhaliman dan
mensyari’atkan qishash (hukum pembalasan), Dia pun menganjurkan kepada
pemberian maaf dan ampun, dengan berfirman “Tetapi orang yang bersabar dan
memaafkan”Yakni, bersabar atas perbuatan yang menyakitkan dan menutupi kesalahan
(orang lain). “Sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diutamakan” Sa’id bin Jubair berkata : “Yakni, termasuk hal-hal yang haq, yang
diperintahkan Allah Ta’ala. Artinya, termasuk perkara-perkara yang tersanjung
dan perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang mendapatkan pahala besar dan pujian
baik. Maka, kembalilah kepada pintu maaf, karena itu merupakan pintu yang luas.
Barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya menjadi tanggungan
Allah. Dan orang yang suka memaafkan, dapat tidur diatas kasurnya pada malam
hari; sedang orang yang suka membela diri selalu berusaha membolak-balikkan
segala perkara”[6]
c. Tafsir
Al-Quran oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
Ini adalah anjuran
Zuhud terhadap dunia dan rangsangan untuk mencintai akhirat dan penjelasan
tentang amal-amal yang bisa mengantarkan kepadanya, seraya berfirman, “maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu“
berupa kerajaan, kekuasaan, harta kekayaan, anak-anak, kesehatan, dan
keselamatan fisik, “itu adalah kenikmatan hidup didunia”, suatu
kelezatan yang akan punah dan akan terputus,“dan yang ada pada sisi Allah”, yaitu pahala
yang berlimpah dan balasan yang sangat mulia dan kenikmatan abadi, adalah “lebih baik”, dari kelezatan-kelezatan dunia;
suatu perbandingan kebaikan yang jauh diantara keduanya, “dan lebih kekal”, sebab ia adalah kenikmatan yang
tidak ada kesusahannya, tidak ada kekeruhannya, dan tidak ada perpindahan. Kemudian dia menjelaskan milik siapa pahala
itu, seraya berfirman “bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb
mereka, mereka bertawakal”, maksudnya, mereka memadukan antara iman yang
benar yang melahirkan amal-amal iman yang nampak dan yang tidak nampak, dengan
tawakal (sikap berserah diri) yang merupakan alat bagi setiap amal.
”dan (juga bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji". perbuatan keji adalah dosa-dosa yang sangat besar yang di
dalam jiwa terdapat nafsu dorongan untuk melakukannya, sedangkan dosa-dosa
besar adalah yang tidak seperti itu. “Dan (juga bagi orang-orang yang) apabila mereka
marah, mereka memberi maaf”. Maksudnya, mereka telah berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehingga sifat lembut
telah menjadi karakter mereka. Mereka tidak membalas orang yang berbuat buruk
kecuali dengan ihsan (sikap baik), memaafkan, dan berlapang dada.
“dan orang-orang yang
menerima seruan Rabbnya”, maksudnya, mereka tunduk untuk menaatiNya,
memenuhi seruanNya dan tujuan mereka pun adalah keridhaanNya dan tujuan akhir
mereka adalah meraih kedekatan denganNya. Termasuk memenuhi seruan Allah adalah
menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Maka dari itu Allah menyambung keduanya
dengan yang sebelumnya sebagai ‘athful-am ‘alal-khas (pengikutan yang umum
kepada yang khusus) yang menunjukkan kemuliaan dan keutamaan yang khusus itu,
seraya berfirman “dan
mendirikan shalat” yang lahir dan yang batinnya, yang fardhu dan yang
sunnahnya, “dan mereka menginfakkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka”,
infak yang wajib seperti zakat, infak terhadap kerabat dekan dan yang semisal
mereka, dan infak yang sunnah seperti bersedekah kepada masyarakat awam. “sedang urusan
mereka”, yang bersifat religi dan yang bersifat duniawi “adalah musyawarah anatara mereka”, maksudnya, tidak seorangpun dari
mereka yang bersikap otoriter dengan pendapatnya dalam suatu urusan bersama di
antara mereka.
“dan orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim”,
maksudnya, kezhaliman yang sampai kepada mereka dari musuh, “mereka membela diri”, karena
kekuatan dan keperkasaan (harga diri) mereka. Mereka tidak menjadi manusia yang
hina dan lemah untuk membela diri.
Ringkasannya, Allah menyifati
mereka dengan iman, tawakal kepada Allah, menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan
dosa-dosa besar yang dengannya dosa-dosa kecil dihapuskan, kepatuhan yang
sempurna dan memenuhi seruan Tuhan mereka, menegakkan shalat, berinfak di
jalan-jalan kebajikan, bermusyawah dalam urusan-urusan mereka, kekuatan dan
membela diri terhadap musuh. Inilah karakter-karakter kesempurnaan.
Allah menjelaskan pada ayat ini
tingkatan-tingkatan hukuman, yaitu ada 3 tingkatan: keadilan, keutamaan, dan
kezhaliman. Tingkatan adil adalah membahas kejahatan dengan kejahatan serupa,
tidak lebih dan tidak kurang. Maka nyawa dibalas dengan nyawa, setiap anggota
tubuh dengan anggota yang sama, dan harta dibalas dengan ganti rugi harta yang
semisal.
Tingkatan keutamaan, adalah memaafkan dan berdamai
dengan yang berbuat kesalahan. Maka dari itu Allah berfirman, “maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah”.
Allah akan memberinya balasan upah yang sangat besar dan pahala yang sangat
banyak.
Dan tingkatan kezhaliman telah
dijelaskan oleh Allah dengan firmannya, “sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim,
“yaitu orang-orang yang terlebih dahulu melakukan kejahatan terhadap orang
lain, atau membalas pelaku kejahatan dengan balasan yang melebihi kejahatannya.
“dan sesungguhnya orang-orang yang
membela diri”, dari “ sesudah teraniaya”,
maksudnya, membela diri dari orang yang menganiayanya setelah kezhaliman
menimpanya, “tidak sah ada suatu
dosa pun atas mereka”. Artinya tidak ada dosa atas mereka dalam melakukan pembelaan
itu. firmanNya “dan orang-orang yang apabila mereka
diperlakukan dengan zhalim”, dan FirmanNya “dan sesungguhnya orang-orang yang
membela diri sesudah teraniaya”, menunjukkan bahwa perbuatan penganiayaan
dan kezhaliman sudah ada dan telah terjadi.
“sesungguhnya jalan itu”, artinya,
sesungguhnya hujjah berupa hukuman syar’i itu ditunjukkan “atas orang-orang yang berbuat zhalim
kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak.”. ini meliputi
semua bentuk kezhaliman dan penganiayaan terhadap orang lain, terhadap darah
(jiwa) mereka, harta atau kehormatan mereka. “mereka itu mendapat azab yang pedih”,
artinya, yang menyakitkan jiwa daan badan sesuai dengan kezhaliman dan
penganiayaannya.
(uy9|¹ `yJs9ur(
“tetapi orang yang bersabar” dalam
menghadapi apa yang dia rasakan dari gangguan orang lain,“dan memaafkan” mereka dengan
memaafkan perbuatan yang mereka lakukan terhadapnya, “sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diutamakan”, artinya, termasuk perkara-perkara yang dianjurkan
dan ditekankan oleh Allah dan Allah mengabarkan bahwa ia tidak akan dilakukan
kecuali oleh orang-orang yang penyabar yang memperoleh keutamaan yang sangat
besar, dan ia termasuk perkara yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh
orang-orang yang memiliki tekad dan kemauan keras dan orang-orang yang memiliki
pikiran dan nurani.[7]
C. Kurikulum
Pendidikan dalam Q.S Asy-Syura 36-43 “Nilai-Nilai Mulia”
Keterkaitannya ialah bahwa hakikat kurikulum
pola pembentukan karakter peserta didik, jadi peserta didik ditanamkan
nilai-nilai mulia. Nilai adalah harapan tentang sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi
manusia dan diugemi sebagai acuan tingkah laku. Adapun nilai-nilai pendidikan
Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal (yang berguna dan bermanfaat bagi manusia
dan diugemi sebagai acuan tingkah laku) yang melekat pada pendidikan Islam yang
digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu mengabdi
pada Allah SWT. supaya bahagia di dunia dan akhirat.
Nilai-nilai pendidikan Islam sesungguhnya terkait erat dengan
nilai-nilai yang ada dalam Islam itu sendiri. Dimana nilai-nilai yang ada dalam
Islam itu berusaha ditransformasikan kepada Umat Islam melalui pendidikan
Islam. Nilai-nilai Islam yang ditransformasikan melalui pendidikan Islam ini
kemudian terlembagakan menjadi nilai-nilai pendidikan Islam.[8]
Didalam kandungan Q.S Asy-Syura ayat 36-43 yaitu bahwa peserta didik
harus ditanamkan nilai-nilai :
a. Iman
b. Tawakal
c. Pemaaf
d. Berakhlak mulia dan berbudi luhur
e. Senantiasa menjauhi dosa-dosa besar
f. Mendirikan shalat
g. Bermusyawarah
h. berinfak
di jalan-jalan kebajikan
i.
kekuatan dan
membela diri terhadap musuh
Iman dan tawakal, keduanya merupakan kunci Tasyakur Ni’mah pada Allah SWT. atas karunia dan nikmat-Nya
begitu banyak. Lalu selanjutnya peserta didik diharapkan dapat memiliki sikap
pemaaf apabila salah satu temannya berbuat salah kepadanya, karena orang yang
pemaaf lebih mulia dari pada orang yang pendendam dan pemarah.
Selanjutnya peserta didik dibekali banyak tentang iman, maka
selanjutnya peserta didik diharapkan mampu mengaktualisasikan bentuk iman
tersebut, yaitu dengan Shalat. Karena shalat merupakan bentuk ibadah utama
kepada Allah SWT. Dan bahwa
hasil iman juga bukan hanya untuk diri sendiri, Iman bukan semata-mata hubungan
pribadi orang seorang dengan Allah, tapi di samping dengan Allah, iman pun
membawa hubungan pribadi dengan urusan bersama yang langsung.
Ringkasannya, Allah menyifati
mereka dengan iman, tawakal kepada Allah, menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan
dosa-dosa besar yang dengannya dosa-dosa kecil dihapuskan, kepatuhan yang
sempurna dan memenuhi seruan Tuhan mereka, menegakkan shalat, berinfak di
jalan-jalan kebajikan, bermusyawah dalam urusan-urusan mereka, kekuatan dan
membela diri terhadap musuh. Inilah karakter-karakter kesempurnaan.
[1] Hamdani
Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hlm.131
[2] Asep
Saefudin,Kurikulum Berbasis Kompetensi PAI, (Bandung: STAIPI,2003),
hlm.168
[3] Ibid,.
Hlm.134-135
[4] Drs.
Anas Salahuddin, M. Pd., Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2011), hlm. 167-170
[5] Prof.
Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015) cet.I jilid 8
hlm.209-212
[6] Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010) cet.II
jilid 8 Hlm. 297-302
[7] Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Al-Quran,( Jakarta: Darul
Haq,2015) jilid 6 cet.IV
[8] Prof.
Dr. Hj. Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir, (Semarang:
Rasail Media Group, 2011), cet.I hlm. 10-11
0 Komentar