A.
Pengertian Metode Pendidikan
Menurut Armai Arief: secara etimologis, istilah metode berasal dari
bahasa Yunani “metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata: yaitu “metha”
yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara.
Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa
Arab metode disebut “Thariqat”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode”
adalah : “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.”
Sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui
untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.[1]
Menurut Abuddin Nata, “metode dapat berarti cara atau jalan yang
harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu, ada pula yang mengatakan
bahwa metode adalah suatu saran untuk menemukan, menguji, dan menyusun data
yang diperlukan bagi pengembangan disiplin ilmu tersebut”.[2]
Di dalam strategi pembelajaran menurut Wina Sanjaya,
“metode termasuk ke dalam komponen-komponen pendidikan yang juga mempunyai
fungsi yang sangat menentukan dalam pencapaian dari suatu tujuan yang
diharapkan dalam kegiatan pendidikan”.[3]
B.
Tafsir QS. Yusuf ayat 108 dan QS. An-Nahl ayat
125
Berikut
perbandingan tafsir dari beberapa kitab:
1)
Tafsir Ibnu Katsir
·
Q.S
Yusuf:108
قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة
أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah di atas bashirah (hujjah yang nyata), Maha Suci Allah, dan
aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Yusuf:108)
Allah Subhanahu
Wata’ala berfirman kepada Rasul-Nya yang diutus kepada manusia dan jin,
memerintahkan kepadanya agar memberitahu kepada manusia bahwa inilah jalannya.
Maksudnya adalah cara jalan dan sunnahnya, yaitu dakwah kepada syahadat bahwa
tidak ada Ilah yang haq selain Allah yang Maha Esa
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan jalan itu, dia mengajak kepada Allah
berdasarkan bukti, dalil dan keyakinan.
Ia dan
orang-orang yang mengikutinya menyerukan apa yang diserukan oleh Rasulullah
Saw. berdasarkan kebenaran, keyakinan, dan argumentasi rasional dan syari’at. (سبحان
الله) “Mahasuci Allah.”
Yakni Mahabersih, Mahaagung, Mahabesar dan Mahakudus dari memiliki sekutu,
tandingan, pesaing, yang menyamai, anak, bapak, isteri, pembantu, atau penasehat.
Dia Mahasuci, Mahabersih, Mahatinggi dari semua hal tersebut
setinggi-tingginya.
·
Q.S
An-Nahl:125
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة
والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم
بالمهتدين
“Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan elajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia lah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl:125)
Hendaknya
ajakanmu kepada umat manusia, yang Muslim maupun Kafir tertuju jalan Rabbmu
yang lurus yang mengandung ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih. (بالحكمة) “Dengan hikmah”, maksudnya, setiap
orang sesuai dengan keadilan dan pemahaman serta sambutan dan ketaatannya.
Termasuk hikmah dalam berdakwah adalah
berdakwah dengan dasar ilmu, bukan kebodohan, memulai dengan perkara
yang paling penting (sesuai dengan skala prioritas), lalu yang lebih penting daripada
(yang sesudahnya) dan yang lebih dekat dengan alam pikiran mereka dan mudah
dipahami, dengan cara (simpatik) yang lebih mendatangkan sambutan lebih baik,
dengan penuh kelembutan dan persuasif. Bila sudah tunduk dengan cara hikmah,
(maka itu sangat bagus). Jika tidak mempan, maka beralih kepada metode dakwah
dengan pelajaran yang baik. Yaitu dengan perintah dan larangan yang diiringi
dengan targhib (anjuran keutamaan) dan tahrib (ancaman). Baik
dengan (menyampaikan) kemaaslahatan yang terkandung oleh perintah-perintah dan
menghitung-hitungnya dan bahaya yang terkandung dalam larangan-larangan dan
menginventarisnya, atau dengan menyebutkan kemuliaan hyang diraih oleh
orang-orang yang menegakkan agama Allah dan penghinaan hyang diterima orang
yang tidak menjalankannya. Maupun dengan menyebutkan sesuatu yang telah Allah
sediakan bagi orang-orang yang taat berupa balasan baik di dunia dan akhirat,
dan sesuatu yang dipersiakan oleh Allah bagi para pelaku maksiat, berupa
hukuman dunia dan akhirat.
Bila obyek
dakwah mengklaim keyakinan yang dipegang teguh olehnya merupakan kebenaran
(padahal salah) atau ia seorang propagandis kebatilan, maka ditempuh cara
antahan dengan cara yang lebih baik. Yaitu cara-cara yang bisa lebih efektif
agar dia menyambut dakwah secara nalar maupun lewat dalil naqli.
Termasuk, menegmukakan argumentasi untuk menyerangnya dengan membawakan
dalil-dalil yang dia yakini (selanjutnya dibantah satu-persatu)
Sessungguhnya
metode ini lebih efektif merealisasikan tujuan dakwah, dan jangan sampai adu
argumentasi mengarah kepada pertikaian atau saling mencela yang akan memupus
tujuan dakwah itu sendiri dan tidak muncul manfaat darinya. Akan tetapi,
sasarannya adalah memberi hidayah kepada umat manusia, bukan untuk mengalahkan
mereka atau tujuan buruk lainnya. Firman Allah, (إن
ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله) “Sesungguhnya Rabbmu
Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya,” Maha
Mengetahui perbuatan-perbbuatan yang menyeretnya kepada kesesatan, dan
Mengetahui perbuatan-perbuatan yang menyebabkannya kepada kesesatannya, dan
Allah akan membalasinya dengan setimpal. (وهو
أعلم بالمهتدين) “Dan Dia lah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” Allah mengetahui
bahwa mereka pantas menerima hidayah, lantas menganugerahkannya kepada mereka
dan memilih mereka.[4]
2)
Tafsir as-Sa’di
·
Q.S
Yusuf:108
قل
هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من
المشركين
Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik". (Yusuf:108)
Allah berfirman
kepada Nabi-Nya Muhammad, (قل) “Katakanlah”, kepada manusia (هذه
سبيلي) “Inilah jalanku
(agamaku)” yaitu jalanku yang aku mengajak (orang) ke sana. Ia adalah
lintasan yang mengantarkan menuju kepada Allah dan mneuju tempat kemuliaan-Nya,
yang mengandung adanya pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya serta
lebih mendahulukan kebenaran itu (daripada segala sesuatu), memurnikan agama
hanya untuk Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
(أدعو
إلى الله) “Aku mengajak (kamu)
kepada Allah”, maksudnya aku menganjurkan umat manusia dan para hamba untuk
berjalan menujur Rabb mereka, dan aku meng-himbau mereka untuk menyambutknya
dan memperingatkan mereka dari perkara-perkara yang menjauhkan mereka dari-Nya.
Ditambah lagi, bahwa aku (على بصيرة) “(mengajak) dengan hujjah yang nyata”,
yang berasal dari agamaku. Maksudnya, aku bertumpu pada ilmu dan keyakinan
tanpa ada unsur syak, kebimbangan dan
keraguan. Begitu pula (ومن اتبعني) “orang-orang yang mengikutiku”,
mereka mengajak kepada Allah sebagaimana aku mengajak berdasarkan hujjah yang
nyata tentang urusan (yang mereka dakwahan). (سبحان
الله) “Mahasuci Allah”,
dari hal-hal yang dinisbatkan kepada Allah dari sesuatu yang tidak pantas
dnegan keagungannya atau menafikan kesempurnaan-Nya. (وما
أنا من المشركين) “dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik”, pada semua urusanku. Bahkan aku hanya
menyembah Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya.
·
Q.S
An-Nahl:125
ادع
إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن
ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين
Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang lebih baik ddan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dia lah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S 16:125)
Allah SWT
berfirmaan seraya memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW agar menyeru ummat
manusia dengan penuh hikmah. Ibnu Jarir mengatakan: “Yaitu apa yang telah
diturunkan kepada beliau berupa alquran dan assunnah serta pelajaran yang baik,
yang di dalamnya berwujud larang dan berbagai peristiwa yang disebutkan agar
mereka waspada terhadap siksa Allah
Ta’ala.
Firman-Nya: (وجادلهم
بالتي هي أحسن) “Dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebih baik,” yakni, barang siapa yang membutuhkan
dialog dan tukar pikiran, maka hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah
lembut, serta tutur kata yang sopan. Hal ini sebagaimana juga Allah sebutkan
dalam firman-Nya yang lain: (ولا تجادلوا
أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن
إلا الذين ظلموا منهم) “Dan janganlah kamu
debat dengan Ahli kitab, melainkan dengaan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zhalim di antara mereka,” dan ayat seterusnya. (QS.
Al-Ankabut:46)
Dengan demikian,
Allah memerintahkannya untuk berlemah lembut, sebagaimana yang Dia perintahkan
kepada Musa dan Harun A.S ketika Dia mengutus keduanya keada Fir’aun: (فقولا
له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى) “maka bicaralah kamu
berdua dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan dia ingat atau takut.”
( QS. Thaahaa: 44)
Firman Allah: (إن
ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله) “Sesungguhnya Rabbmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya,”
dan ayat seterusnya. Maksudnya, Dia menegtahui siapa yang sengsara dan siapa
pula yang bahagia. Hal itu telah Dia tetapkan di sisi-Nya dan telah suai
pemutusannya. Serulah mereka kepada Allah SWT, janganlah kamu bersedih hati
atas kesesatan orang-orang di anatar mereka, sebab hidayah itu bukanlah
urusanmu. Tugasmu hanyalah memberi eringatan dan menyampaikan risalah, dan
perhitungan-Nya adalah tugas kami.[5]
C.
Implikasi Ayat dengan Metode Pendidikan
Dalam al-Qur'an surat yusuf ayat 108 dan an-Nahl ayat 125 terdapat empat
metode pendidikan:
a)
Metode pendidikan dengan dakwah, maksudnya adalah cara jalan dan sunnahnya,
yaitu dakwah kepada syahadat bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah yang
Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan jalan
itu, dia mengajak kepada Allah berdasarkan bukti, dalil dan keyakinan.
b)
Metode pendidikan dengan melalui bil-hikmah, yakni: pengetahuan yang dalam
yang menjelaskan kebenaran serta menghilangkan kesalah-pahaman melalui tutur kata
yang tegas dan benar serta mempengaruhi jiwa akal budi yang mulia, dada yang
lapang dan hati yang bersih serta mampu bersikap proporsional, mampu membedakan
mana yang harus di kerjakan dan mana yang harus ditinggalkan.
c)
Metode pendidikan dengan melalui
al-mau'idhotil hasanah, menurut tafsiran para mufasir artinya adalah pendidikan
yang baik. Yakni bentuk pendidikan dengan memberikan nasehat dan peringatan
baik dan benar, perkataan yang lemah lembut, penuh dengan keikhlasan, menyentuh
hati sanubari, menentukan dan menggetarkan jiwa peserta didik untuk terdorong
melakukan aktivitas dengan baik.
d)
Metode pendidikan dengan melalui mujaadalah billatii hiya ahsan artinya
adalah bantahan yang lebih baik, yakni bantahan dengan memberi manfaat,
bersikap lemah lembut perkataan yang baik bersikap tenang dan hati-hati menahan
amarah serta lapang dada.
Keterkaitan dengan metode pendidikan, antara lain:
· Penggunaan metode dalam suatu mata pelajaran bisa lebih dari satu macam.
Metode yang variatif dapat membangkitkan motivasi belajar anak didik.
· Dengan adanya berbagai macam metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
maka guru dapat menggunakan metode tertentu yang lebih tepat sesuai dengan kondisi
kelas, sehingga proses pembelajaran lebih mudah dilakukan.
· Pendidik dapat lebih menekankan pada segi tujuan afektif dibanding tujuan
kognitif dan menjadikan peranan guru agama lebih bersifat mendidik daripada
mengajar.
· Mempermudah pendidik dalam mentransfer pengetahuan agama sekaligus menumbuhkan komitmen pada siswa untuk mengamalkannya serta menghindari kesalah pahaman dalam memahami Islam.
· Mempermudah pendidik dalam mentransfer pengetahuan agama sekaligus menumbuhkan komitmen pada siswa untuk mengamalkannya serta menghindari kesalah pahaman dalam memahami Islam.
[1] Arief,
Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, hlm. 40
[2] Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2005),
hlm.143.
[3] Wina
Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana 2008), cet. V, hlm. 60.
[4] DR.
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu
Katsir, Penerjemah M. ‘Abdul Ghoffar E.M dan Abu Ihsan al-Atsari, Jakarta:
PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI’I, 2010, jilid 7,
cet. ke-2, hlm. 413-417
[5] Syaikh
Abrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir AL-Qur’an, Jakarta: Darul Haq,
2012, cet. ke-2, vol. 6, hlm. 38-40
0 Komentar