MAHAR - Fiqh Munakahat - Fikih


MAHAR



A.    Pengertian Mahar
Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kara benda bentuk abstrak atau masdar, yakni “Mahram” atau kata kerja, yakni fi’il dari “mahara-yamaharu-maharan”. Lalau, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahar, dan kini sudah diindonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin.
Di kalangan fuqaha, di samping perkataan”mahar”, juga digunakan istilah lni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar. Dengan pengertian etimologi tersebut, secara istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-Quran maupun Al-Hadits.[1]
Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang digunakan. Kalangan ahli fiqih lebih sering menggunakan kata “shidaq” dalam kitab-kitab fuqahanya. Sebaliknya, di Indonesia terma yang sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin. Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara terma ash-shidaq dan terma al-mahar. Ada pendapat yang menegaskan bahwa shadaq merupakan sesuatu yang wajib karena nikah, seperti wathi’ subhat, persusuan, dan menarik kesaksian. Menurut ibnu Qayyim, istilah mahar dengan shidaq tidak berbeda fungsi jika yang dimaksudkan merupakan pemberian sesuatu dari mempelai laki-laki kepada  mempelai perempuan dalam sebuah perkawinan. Hanya istilah mahar digunakan untuk perkawinan, sedangkan istilah shidaq dapat digunakan dalam hal selain perkawinan, karena istilahnya bersifat umum sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah sunnah. Shadaqah wajib adalah membayar zakat dan membayar mahar.
Menurut Sayyid sabiq[2], mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha’. Penyebutan mahar hukumnya sunnat, baik dari segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam suatu akad perkawinan. Apa pun barang yang bernilai adalah sah untuk dijadikan mahar. Demikian pulan menurut Taqiyuddin, bahwa penyebutan mahar hukumnya sunnat. Jika tidak disebutkan, nikahnya tetap sah dan suami wajib membayar mahar mitsil.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mahar adalah pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita, berupa harta ataupun yang dapat memberikan manfaat karena adanya ikatan perkawinan. Bentuk dan jenis mahar tidak ditetapkan dalam hukum perkawinan Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan. Apabila pihak mempelai wanita sepakat dengan mahar yang ditawarkan oleh pihak mempelai pria, bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak.
Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar hukum yang diambil dari Al-Qur’an dan dasar hukum dari As-Sunnah. Dilengkapi oleh pendapat ulama tentang kewajiban membayar mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.
Dalam Al-Quran, surat An-Nisa ayat 4, Allah SW. berfirman :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
 “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’ : 4)
Ayat di atas menyebutkan “Mahar” dengan istilah “shadaq” yang dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan. Dalam surat An-Nisa ayat 25, Allah SWT. berfirman sebagai berikut :
...فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ...
“Oleh Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan meraka dan berikanlah maskawin mereka menurut yang patut”. (Q.S. An-Nisa : 25)
Dalam ayat di atas digunakan istilah ajrun atau ujurahun. Istilah tersebut yang makna asalnya upah, dalam konteks ayat itu bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, yang di samping harus atas izin tuannya, juga harus dibayar maharnya. Dengan demikian, dalam konteks hak atas mahar, tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan perempuan tersebut dapat pula dipahami bahwa dari sissi kesetaraan gender, Islam telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan sosial budaya.
Demikian pula dalam surat An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. An-Nisa : 34).
Ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan diatas merupakan dalil sebagai dasar hukum yang kuat, bahwa laki-laki wajib membayar mahar kepada perempuan yang hendak dinikahinya dengan ikhlas agar hak perempuan sejak awal telah ditegakkan. Dasar hukum kedua adalah hadits, sebagaimana hadits yang diriwayatkan sebagai berikut:
اَبْرَكُهُنَّ اَقَلُّهُنَّ مَهْرًا {متفق عليه}
“Yang paling membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maharnya.” (HR. Bukhori, Muslim)

B.     Jenis-jenis Mahar
Mengenai kewajiban pembayaran mahar para fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu pembayaran mahar bisa dilakukan pada waktu akad pernikahan. Mahar yang dimaksudkan terdiri dari berbagai macam, antara lain:
1.      Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam sighat akad. Mahar musaima ada dua macam, yaitu :
1)      Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnah.
2)      Mahar musamma ghair mu’ajjal, yakni: mahar yang pemberiannya ditanggauhkan.
Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma apabila telah terjadi dukhul. Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal dunina sebagaimana disepakati oleh para ulama; apabila telah terjadi khalwat (bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar.[3]
Bagi suami yang menalak istrinya sebelum dukhul, ia wajib membayar setengah dari mahar yang telah diakadkan, sebagaimana desebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 273.
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah , dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
2.      Mahar Mistil
Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang bisa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah mahar belum ditetapkan bentuknya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 236 :
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tdak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 236)
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami boleh memilih salah satu dari ketiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa menentukan maharnya atau menentukan maharnya, sebagaimana yang diminta oleh pihak istri. Atau ia menentukan mahar mitsil-nya, sebagaimana pada ayat di atas dijelaskan secara rinci pada kalimat, “Hendaklah kalian berikan suatu mut’ah menurut kemampunmu.  Membayar mahar mistil dipandang lebih adil dan bijaksana karena hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar yang biasa diterima oleh pihak istri. Hal ini diperkuat oleh hadis yang menyebutkan kasus seorang suami yang menceraikan istrinya setelah terjadi dukhul, sementara ia belum menetapkan jumlah maharnya. Begitu pula seorang suami yang meninggal sebelum terjadi dukhul, sedangkan ia belum semepat menetapkan maharnya yang harus diberikan kepada istrinya.
Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fukaha bebeda pendapat. Sebagian fukaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama membolehkan. Imam malik menegaskan bahwa: boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya hendaknya ia membayar separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus waktunya dan tidak tertlalu lama. oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak[4].
Dianjurkan untuk menunda pembayaran dengan batas waktu yang jelas dan tidak sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau istrinya. Akan tetapi, Al-Auza’i berpendapat bahwa menunda pembayharan mahar dibolehkan meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian. Penundaan pembayaran mahar tidak terbatas sebagaimana dalam jual-beli karena penundaan pembayaran mahar bersifat ibadah. Yang terpenting, suami tetap wajib membayar.

C.    Kedudukan Mahar
Para fuqaha berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah, dan ada yang menyatakan sebagai syarat syahnya perkawinan, karema itulah kedudukan mahar wajib ada dalam perkawinan. Akan tetapi, kompilasi dalam hukum Islam tidak menetapkan mahar sebagai rukun maupun syarat perkawinan, yang ada hanyalah merupakan kewajiban bagi mempelai pria dan hak bagi mempelai wanita.
Dalam Islam, disyari’atkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah yang diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu ingin menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena itu, dalam al-Qur’an Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 4 :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
 “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’ : 4)
Pengertiannya adalah, bayarkanlah mahar kepada mereka sebagai pemberian yang setulus hati. Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Wajibnya mahar juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW “Berikanlah (maharnya) sekalipun cincinbesi”. (HR Muttafaq ‘alaih)7.
Mahar merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan, karena mahar sebagai pemberian yang dapat melanggengkan cinta kasih, yang mengikat dan mengukuhkan hubungan antara suami istri. Mahar yang harus dibayarkan ketika akad nikah hanyalah sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah (tujuan), karena itu islam sangat menganjurkan agar mahar atau mas kawin dalam perkawinan dipermudah.[5]
Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Jumlah mahar atau maskawin yang wajar itu akan tergantung pada kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah itu, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya, dari satu masa ke waktu yang lain dan dari satu negeri dengan negeri yang lain. Jenis mahar yang dipakai masyarakat Indonesia secara umum adalah mahar musamma, biasanya ditetapkan bersama atau dengan musyawarah dari kedua belah pihak. Berapa jumlahnya dan bagaimana bentuknya harus disepakati bersama, dan sunnah tatkala mengucapkan ijab Kabul pernikahan, agar para saksi dapat mendengar secara langsung jumlah dan bentuk dari mahar tersebut. Penentuan mahar serta pemberiannya baik dengan cara memberi kontan atau menangguhkannya adalah suatu hal yang diperbolehkan, akan tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah ditetapkan ketika ijab kabul pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belah pihak dapat menjadi tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan.
Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabiin berpendapat bahwa mahar tidak mengenal batas tinggi rendah, besar dan kecil. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat tersebut dikemukakan pula oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik[6].
Imam Malik berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu harus mencapai seperemnpat dinar emas atau perak seberat tiga dirham timbangan, atau barang yang sebanbding dengan tiga dirham tersebut. Imam Malik berkata bahwa paliung sedikit mahar itu harus mencapai empat puluh dirham.
وَقَالَـــــ بَعْضُ أَهْلِ كُوْ فَةَ : لَايَكُوْنُ الْمَهْرُ أَ قَلُّ مِنْ رُبِعَ دِيْنَارٍ (رواه الترمذى)
 “Dan berkata ulama Kufah bahwa paling sedikit mahar adalah 40 dirham”. (Muhammad bin Isa, t.t. : 290).
Perbedaan pendapat tentang batas minimal (terendah) mahar tersebut disebabkan oleh dua faktor :
1.      Disebabkan oleh ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antar kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, dimana yang dijadikan pegangannya adalah kerelaan menerima ganti, baik sendiri atau banyak, seperti halnya dalam jual beli, dan kedudukannya sebagai suatu ibadah, yang sudah ada ketetapannya.
2.      Disebabkan oleh pertentangan qiyas menghendaki adanya pembatasan mahar, dengan mafhum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatas adalah bahwa pernikahan adalah ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuan-ketetntuannya.
Bentuk mas kawin boleh apa saja, asal dapat dimiliki dan dapat ditukarkan. Kecuali benda-benda yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, seperti khamer, daging babi, bangkai, dan sebagainya. Begitu pula benda-benda yang tidak bisa dijadikan hak milik, seperti air, binatang-binatang yang tidak bisa dimiliki dan sebagainya.     
Sesuatu yang dijadikan sebagai mahar adalah sesuatu yang memiliki nilai, baik hissiyyah (kasat mata) maupun maknawiyyah. Sehigga sesuatu yang dapat dijadikan sebagai mahar adalah :
1.       Sesuatu yang memiliki harga dalam jual beli Yaitu segala sesuatu yang dapat dikuasakan, suci, halal, dapat diambil manfaatnya, dan dapat diterima. Seperti; uang, benda berharga, dan yang semisalnya. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, yang bertanya kepada Aisyah tentang jumlah mahar Rasulullah untuk isteri-isterinya. Aisyah menjawab;
كَانَ صَدَا قُهُ لِاَزْوَاجِهِ ثِنْتَي عَشْرَةَ أُقِيَّةً وَنَشًّا قَا لَتْ أَتَدْرِي مَاالنَّنشُّ قَالَ قُلْتُ لاَقَلَتْ نِصْفُ أُوْقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُ مِائَةِ دِرْهَمٍ فَهَذَا صَدَاقُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَزْوَجِهِ.
“Mahar beliau untuk isteri-isterinya adalah dua belas Uqiyyah dan Nasy. Tahukah engkau apa itu Nasy?” Abu Salamah  menjawab, “Tidak.” Aisyah berkata, (Nasy) adalah setengah Uqiyyah. Sehingga semuanya berjumlah lima ratus Dirham.1695 Itulah mahar Rasulullah untuk isteriisterinya



2.      Upah dari pekerjaan
Setiap pekerjaan yang diperbolehkan meminta upah darinya, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Ini adalah madzhab Syafi‟i dan Ahmad. Di antara dalilnya adalah firman Allah yang menceritakan bahwa Nabi Syu‟aib menikahkan Nabi Musa dengan salah satu putrinya, dengan maharnya berupa bekerja untuknya selama delapan tahun. Allah berfirman;
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (Al-Qashash: 27)
3.      Membebaskan hamba sahaya wanita
Imam Syafi’i berpendapat bahwa memanfaatkan hamba sahaya yang telah dimerdekakan oleh tuannya adalah diperbolehkan, sebagaimana Rasulullah SAW menjadikan Shafiyah sebagai istrinya. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
 رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْتَقَ  صَفِىَّةً وَجَعَلَ عِتْقَهَاصَدَاقَهَأَنَّ
“Bahwa Rasulullah  memerdekakan Shafiyyah  dan beliau menjadikan
kemerdekaannya sebagai maharnya.”
4.       Hafalan ayat al-Qur’an
Mahar juga dapat berupa hafalan Al-Quran, dengan persyaratan sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Seperti hadits di bawah ini:
وَعَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدِالسَّاعِدِى رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِ... قَالَ: إِذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأَنِ - متفق عليه -
 “Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi r.a, berkata: ada seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata: Ya Rasulullah, saya datang umtuk menyerahkan diriku kepadamu (untuk dijadikan…), Rasulullah bersabda: “Pergilah engkau! Aku nikahkan wanita ini dengan Al-Quran yang engkau hafal sebagai (mas kawinnya) itu. (HR. Bukhari Muslim).[7]





Kesimpulan
Istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-Quran maupun Al-Hadits.
Mengenai kewajiban pembayaran mahar para fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu pembayaran mahar bisa dilakukan pada waktu akad pernikahan. Mahar yang dimaksudkan terdiri dari berbagai macam, yang pertama mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam sighat akad dan yang ke dua mahar mitsil, adalah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang bisa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah mahar belum ditetapkan bentuknya
Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Jumlah mahar atau maskawin yang wajar itu akan tergantung pada kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah itu, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya, dari satu masa ke waktu yang lain dan dari satu negeri dengan negeri yang lain.




[1]               Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet.I. Hlm,260.
[2]               Ibnu Rusyid, Bidayah Al-Mujtahid, (Semarang: Al-Husna, 1985), hlm. 53
                                                                        
[3]               Kamal Mukhtar,  Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 86
[4]               Inbu Rusyd,  Bidah Al-Mujtahid, (Semarang: Al-Husana,1985) hlm. 394.
[5]           Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, (Jogjakarta: Menara Kudus, 2002). Hlm,148.

[6]              Ibnu Rusyid, Bidayah Al-Mujtahid, (Semarang: Al-Husna, 1985), hlm. 14
[7]               A. Zakaria, Tarbiyah An-Nisa, (Garut: Ibn azka press, 2004), hlm.145-146.


Posting Komentar

0 Komentar