NAFKAH - Fiqh Munakahat - Fikih


NAFKAH


A.    Pengertian nafkah, kiswah dan maskan
Nafkah berarti “belanja”.[1] Yang di maksudnya belanja di sini yaitu memenuhi kebutuhan makanan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri, jika ia seorang kaya.[2] Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah pendapatan suami yang wajib di berikan kepada istrinya.[3]
Nafkah secara etimologis adalah apa yang kamu nafkahkan dan kamu belanjakan untuk keluargamu dan untuk dirimu sendiri. Anfaqa al-mal, artinya membelanjakan nafkah.[4] Secara terminologis, memberikan nafkah berarti: mencukupi makanan, pakaian, dan tempat tinggal orang yang menjadi tanggungannya.[5]
Nafkah adalah sesutau yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau orang lain berupa makanan, minuman, dan yang lainnya.[6]
Maskan ialah tempat tinggal Sedangkan Kiswah artinya pakaian.

Syarat bagi perempuan/ istri berhak menerima belanja dari suami adalah sebagai berikut:
1.      Ikatan perkawinannya sah,
2.      Menyerahkan dirinya pada suami,
3.      Suami dapat menikmati dirinya,
4.      Tidak menolak apabila di ajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya, dan
5.      Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Jika dalam hal ini salah satu syarat tidak terpenuhi maka istri tidak wajib diberi belanja oleh suami. Agama mewajibkan suami membelanjakan istrinya, karena adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang istri menjadi terikat kepada suaminya dan tertahan sebagai miliknya karena ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Istri wajib taat dan patuh pada suami, tinggal di rumah suami, mengatur rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Dan sebaliknya suami berkewajiban memenuhi kebutuhan istri, dan memberikan belanja kepada istri, selama ikatan suami istri masih berjalan, dan istri tidak durhaka kepada suami.
Jika seorang istri tinggal bersama suaminya, maka sang suamilah yang menanggung nafkahnya dan bertanggung jawab mencukupi kebutuhannya, yang meliputi makanan, pakaian dan sebagainya. Maka dalam hal ini istri tidak perlu menuntut nafkah, karena suami wajib memenuhi kebutuhan istri, atau ia meninggalkan istri tanpa memberikan nafkah dengan tanpa alasan yang dibenarkan, maka istri berhak meminta ukuran nafkah yang meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal, lalu pihak hakim menentapkan ukuran nafkah untuk si istri. Dan bagi suami harus melakukan keputusan hakim itu, jika dakwaan terhadapnya terbukti.[7]

B.     Hukum memberi nafkah
Memberikan nafkah hukumnya wajib. Ketentuan ini berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Allah Swt berfirman:

وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لا تكلف نفس إلا وسعها

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya..”(al-Baqarah:233)

Mengenai tafsir Ibnu Katsir menerangkan:”Artunya, wajib bagi ayah si anak memberikan nafkah kepada ibunya (yakni istri) dan memberikannya pakaian dengan cara yang ma’ruf. Para istri tersebut berhak mendapatkan semua itu sesuai dengan jumlah yang biasa didapatkan wanita-wanita di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa harus membebani diri. Suami dituntut memberikan nafkah sebatas kemampuan dan kelapangan rizkinya, sebagaimana firman Allah Swt:

لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما آتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath-Thalaq:6)

Adh-Dhahhak berkata: ‘Jika seorang laki-laki menceraikan isterinya, sementara ia telah memperoleh anak dari wanita itu dan anak tersebut masih menyusu dengan ibunya, maka si ayah wajib menafkahi  isterinya itu dan memberinya pakaian secara ma’ruf atau yang dikenal/baik menurut pengertian syara’ tidak terlampau kikir dan tidak berlebih-lebihan.
Demikian juga diatur dalam hadits Rasulullah SAW:
Artinya: “Kewajiban suami terhadap istrinya ialah memberi makan apabila makan, dan memberi pakaian apabila berpakaian. Jangan memukul wajahnya, jangan menjelek-jelekkannya, serta jangan mengucilkannya dalam rumah” (Riwayat Hakim).[8]

Maka dari ayat-ayat dan hadits diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Suami wajib memberikan kepada istri makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
2.      Suami melaksanakan kewajiban memberikan istri makanan, pakaian, dan tempat tinggal itu sesuai dengan kesanggupannya.
Kewajiban atas nafkah menurut Pasal 80 Ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendidikan bagi anak. Kewajiban nafkah atas suami kepada istri juga tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

C.    Tujuan dan Prinsip-prinsip Nafkah
Dalam pernikahan jika istri hidup serumah dengan suaminya, maka suami wajib menaggung nafkahnya dan mengurus segala keperluan istri seperti : makan, pakaian, dan sebagainya, maka dalam hal ini istri tidak boleh meminta nafkah lebih dari kemampuan suaminya. Maka tujuan dari pemberian nafkah yaitu suami wajib memenuhi kebutuhan sehari-hari istrinya sesuai dengan kemampuannya.
Di dalam Al-Qur‟an dan hadis tidak disebutkan kadar ataupun jumlah suami memberikan nafkah. Prinsip dasar nafkah secara umum yaitu pemberian nafkah harus sesuai dengan kebutuhan istri dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan suami memberikan nafkah. Dalam hal ini nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut dengan artian cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.
Al-Qur‟an telah memberikan tuntunan kehidupan rumah tangga untuk hidup saling mencintai, membimbing dan merawat anak-anak, sehingga antar keduanya terpenuhi kebutuhan rohani dan jasmani. Namun dalam rumah tangga itu kadang mengalami peristiwa-peristiwa perselisihan antara suamiistri yang berujung di pengadilan sehingga terjadi perceraian. Oleh karena itu para ulama telah memikirkan kadar atau jumlah nafkah minimal yang wajib di berikan suami kepada istri.
Golongan Hanafi berpendapat bahwa di dalam agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami memberikan nafkah kepada istri secukupnya seperti makanan, daging, sayur-mayur, buah-buahan dan segala kebutuhan yang di perlukan istri sehari-hari sesuai dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda dengan keadaan dan situasi setempat. Juga wajib bagi suami memberikan pakaian kepadanya. Golongan Hanafi menetapkan jumlah nafkah bagi istri ditetapkan sesuai dengan kemampuan suami, kaya atau miskin, bukan hanya melihat bagaimana istrinya.[9]
Menurut golongan Syafi‟i dalam penetapan jumlah nafkah bukan di ukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi menurut golongan ini hanya berdasarkan syara‟. Walaupun golongan Syafi‟i sependapat dengan golongan Hanafi, yaitu tentang memperhartikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, bagi suami yang kaya di tetapkan kewajiban nafkah setiap hari dua mud. Sedang bagi yang miskin di tetapkan satu hari satu mud. Dan bagi yang sedang satu setengah mud.[10]
Golongan Syafi‟i mengqiaskan jumlah nafkah kepada “kaffarat”. Kaffarat terbanyak yaitu dua mud (-+ 2 X 2 ½ kilogram beras) sehari, yaitu kaffarat karena merusak atau menyakiti diwaktu mengerjakan ibadah haji. Sedangkan kaffarat terendah yaitu satu mud sehari, yaitu kaffarat zhihar. Karena itu beliau menetapkan bahwa kadar nafkah maksimal ialah dua mud sehari sedangkan nafkah minimal ialah satu mud sehari. Dalam hal ini harus di sesuaikan antara suami yang kaya dan miskin. Terhadap masingmasingnya ditentukan sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an yang tidak menjelaskan jumlah nafkah tertentu. Maka dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jika suami dalam keadaan kaya maka suami harus memberikan nafkah kepada istri dua mud sehari. Jika suami dalam keadaan sedang, maka ia dikenakan satu setengah mud. Karena dalam hal ini ia tidak dapat disamakan dengan suami yang kaya, karena ia berada di bawah ukuran orang yang kaya dan diatas golongan yang miskin. Jadi ia ditentukan satu setengah mud. Dalam kitab Raudhah Al- Nadiyyah, yang dikutip oleh Slamet Abidin dan H. Aminuddin, disebutkan bahwa kecukupan dalam hal makan meliputi semua yang dibutuhkan oleh  istri, termasuk buah-buahan, makanan yang biasa dihidangkan dan segala jenis makanan menurut ukuran yang wajar.[11]
Istri wajib mendapatkan tempat tinggal dan peralatannya sesuai dengan kemampuan dan keadaan suami baik kaya, miskin dan kesederhanaan atau berkecukupan suami. Jika suami yang miskin nafkah yang paling sedikit diberikannya yaitu mencapai kebutuhan makan dan lauk dengan sewajarnya dan pakaian yang sewajarnya pula. Bagi suami yang sedang-sedang saja atau pertengahan, ia wajib memberikan yang lebih dari yang miskin dengan cara yang wajar dan pakaiannya pula harus lebih dari yang miskin dan dengan cara yang wajar pula. Nafkah dan pakaian itu harus diberikan dengan cara yang wajar, untuk menjaga istri dari hal-hal yang merugikan. Karena dalam hal ini diwajibkan untuk memenuhi kebutuhannya dengan sederhana. Ini yang disebut ma’ruf dalam agama.

D.    Sebab-sebab yang Mewajibkan Nafkah

1)      Sebab Keturunan
Dengan adanya perkawinan maka lahirlah seorang keturunan. Dengan demikian maka wajib seorang bapak mencukupi kebutuhan keturunannya. Dalam suatu kejadian pernah datang istri Abu Sufyan mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
Artinya: “Dari „Aisyah bahwa Hindun binti „Uthbah pernah bertanya: wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anak-anakku, sehingga aku mesti mengambil dari padanya tanpa sepengetahuannya. Maka Rasulullah bersabda: Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.(H.R. Bukhari).
Syarat wajibnya nafkah atas kedua ibu bapak kepada anak adalah apabila dalam hal ini si anak masih kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin pula. Begitu pula jika sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada kedua ibu bapaknya apabila keduanya tidak kuat lagi bekerja dan tidak memiliki harta. Sebagaimana Firman Allah SWT: Artinya: “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Lukman:15).

2)      Sebab Pernikahan
Suami diwajibkan memberi nafkah kepada istrinya yang taat. Baik makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan di tempat masing- masing dan menurut kebutuhan suami. Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan   dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak di tentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan dengan keadaan suami. Suami diwajibkan memberikan nafkah kepada istrinya yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan di [12]tempat masing-masing dan menurut kemampuan suami. Banyaknya nafkah adalah sesuai dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan keadaan suami.
Di dalam Al-Qur‟an maupun hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas jumlah nafkah yang diberikan kepada istri. Hanya dalam Surat Ath-Thalaq ayat 6 dan 7 memberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut, artinya cukup untuk keperluan istri dan harus di sesuaikan dengan penghasilan suami.
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.


E.     Nafkah Pasca Perceraian
Ketentuan mengenai putusnya ikatan perkawinan dan akibat-akibatnya, secara umum diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian diatur lebih lanjut di dalam PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan lebih khusus lagi bagi orang-orang Islam diatur di dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Perceraian dalam istilah Ahli Fiqh disebut talak atau furqah. Talak dan furqah dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.[13] Talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai „pintu darurat‟ yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, putusnya ikatan perkawinan dapat disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan. Berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam putusnya ikatan perkawinan dapat disebabkan karena talak atau karena gugatan perceraian.
Menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak yang akan diikrarkan oleh suami kepada isterinya, dilakukan oleh si suami dengan mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan penjatuhan ikrar talak tersebut. Dalam hal ini diperjelas dalam Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di dalam praktik, permohonan yang diajukan oleh suami tersebut dikenal dengan sebutan permohonan talak, yang mana suami berkedudukan sebagai Pemohon, sedangkan istri sebagai Termohon.
Sedangkan, gugatan perceraian adalah gugatan yang diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal Penggugat (isteri), kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Menurut Pasal 132 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
Berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami-istri). Disamping itu, berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena satu atau lebih alasan berikut:
1)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3)      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4)      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5)      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6)      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7)      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga

Oleh karenanya, dengan merujuk pada ketentuan tersebut, maka perceraian itu sah apabila dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan suami-istri), dengan disertai alasan-alasan perceraian sebagaimana diatur di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas. Lebih lanjut, perceraian antara suami istri dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/inkracht van gewijsde (Pasal  146 ayat [2] KHI). Khusus bagi perceraian karena talak, perceraian tersebut terjadi setelah suami mengucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama.
Akibat hukum dari perceraian yang terjadi karena adanya permohonan talak dari suami (Pemohon), adalah mantan suami wajib, berdasarkan Pasal 149 KHI:
1)      Memberikan mut`ah (pemberian/hadiah) yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul (belum dicampuri);
2)      Memberi nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
3)      Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul;
4)      Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Menurut Imam Syafi‟i : Malik telah menggambarkan kepada kami dari Nafi‟, dari Ibnu Umar bahwasanya ia biasa berkata, “Setiap wanita yang di cerai wajib mendapatkan mut’ah (biaya) kecuali wanita yang diceraikan dan maharnya telah ditentukan namun belum dicampuri, maka cukuplah baginya apa yang telah ditetapkan untuknya.”[14]
Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI tersebut, maka mut’ah, nafkah iddah, pelunasan mahar bagi qobla al dukhul, dan biaya hadhonah bagi anak, baru bersifat “wajib” untuk diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri yang ditalaknya, setelah ikatan perkawinan suami-istri tersebut dinyatakan putus atau setelah suami mengucapkan ikrar talak di depan persidangan Pengadilan Agama. Oleh karenanya, mut’ah dan nafkah iddah yang di atas, maka hal tersebut bukanlah syarat sah terjadinya perceraian karena talak, melainkan akibat hukum yang wajib dilakukan atau diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri akibat karena telah diucapkannya ikrar talak oleh suami di depan sidang Pengadilan Agama atau perceraian telah dinyatakan sah terjadi. Syariat Islam menyerahkan penentuan kadar nafkah mut’ah kepada kebiasaan masyarakat dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi suami.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, perceraian karena talak sah terjadi apabila:[15]
1)      Dilakukan di depan sidang pengadilan agama (setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan suami-istri);
2)      Disertai alasan-alasan perceraian sebagaimana diatur di dalam Pasal 116 KHI;
3)      Pengadilan Agama menjatuhkan putusan yang mengizinkan suami mengucapkan ikrar talak dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap/inkracht van gewijsde;
4)      Suami mengikrarkan talak di depan sidang pengadilan agama (dalam tempo maksimal 6 bulan sejak putusan izin ikrar talak berkekuatan hukum tetap).

Dengan demikian, ikrar talak yang dilakukan/diucapkan Pemohon, meskipun belum dipenuhi mut’ah dan nafkah iddahnya oleh Pemohon kepada Termohon, sepanjang dilakukan/diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama adalah sah. Di dalam praktik sebelum diucapkan ikrar talak si suami (Pemohon) biasanya diminta oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah yang telah ditetapkan kepada calon mantan istri pada saat sebelum persidangan pengucapan ikrar talak. Ada pula Pemohon yang menitipkan mut’ah dan nafkah iddah tersebut kepada Pengadilan Agama, yang mana Termohon setelah sidang pengucapan ikrar talak, dapat mengambilnya di Pengadilan Agama tersebut.
Terkait dengan mut’ah (hadiah) dan nafkah iddah yang belum dipenuhi atau diberikan oleh Pemohon yang mana mut’ah dan nafkah iddah tersebut dinyatakan dan ditetapkan dalam amar putusan, maka Termohon dapat mengingatkan dan menegur pemohon untuk melaksanakan putusan tersebut. Apabila tidak diindahkan, Termohon dapat meminta pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Agama yang memutus perkara permohonan talak tersebut supaya hak-hak termohon (termasuk mutah dan nafkah iddah) dipenuhi dan diberikan oleh Pemohon.

1)      Nafkah iddah
a.       Pengertian Nafkah iddah
Kata nafkah sendiri berarti belanja hidup (uang) pendapatan, suami wajib memberi kepada Istrinya, rizki, bekal hidup sehari-hari dan kata iddah berarti masa tunggu bagi wanita yang dicerai oleh mantan suaminya, jadi nafkah Iddah sama juga berarti nafkah yang diberikan oleh mantan suami setelah terjadinya perceraian. Sehingga yang dimaksud dengan nafkah Iddah atau nafkah cerai adalah tunjangan yang diberikan seorang pria kepada mantan istrinya berdasarkan putusan pengadilan yang menyelesaikan perceraian mereka.

b.      Kadar Nafkah Iddah
Memang tidak ada ketentuan yang pasti yang mengatur masalah kadar nafkah iddah terkait berapa jumlahnya, baik itu dalam AL-Quran dan Hadis |, maupun dalam hukum positif. Namun hal itu dapat disamakan. dengan kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami yang masih dalam ikatan perkawinan atau sebelum terjadinya perceraian. Mengenai kadar nafkah, dalam AL-Qur’an surat at- Talaq ayat 6 dan 7 hanya memberikan gambaran umum bahwa nafkah diberikan kepada istri menurut kecukupan dari keperluan sehari-hari dan sesuai dengan penghasilan Suami. Dalam KHI juga tidak dijelaskan secara rinci berapa kadar nafkah terhadap istri, hal itu terdapat pada Pasal 80 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Suami wajib melindungi Istrinya dan memberikan segala suatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Mayoritas ‘Ulama’ maz|hab Ima>miyyah mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan Istri yang mencakup pangan, laukpauk, pakaian, tempat tinggal, alat rumah tangga sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang seperti dia di daerahnya, sedangkan Mazh|ab lain mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran adalah kondisi Suami bukan kondisi Istri.[16]
c.       Nafkah Iddah Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Fuqaha telah sepakat bahwa perempuan yang berada dalam masa iddah T{alaq Raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Begitu juga halnya perempuan yang hamil, berdasarkan firman Allah SWT. Berkenaan Istri yang di T{alaq Raj’i, dan istri-istri yang di T{alaq dalam keadaan hamil :
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para Isteri) di mana kamu bertempattinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkanmereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka(Isteri-Isteri yang sudah di T{halaq) itu sedang hamil, Makaberikanlah kepada mereka Nafkahnya hingga mereka bersalin”.(Q.S.at-T{alaq:6)

Mazhab Imamiyah tidak mengategorikan fasak akad sama dengan
Talak Ba’in. Mereka berpendapat bahwa,orang yang menjalani iddah akibat fask-nya akad,baik dia hamil atau tidak,dia tetap berhak atas nafkah.

2)      Nafkah Mut’ah
Pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam Tafsir as Sabuni, bahwa nafkah itu diartikan sebagi Mut'ah, yang berarti pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu serta menghindari dari kekejaman Talak yang dijatuhkannya itu. Dalam hal ini nafkah (Mut'ah) juga diartikan sebagai penghibur, nafkah sesuai dengan kemampuannya sebagaimana telah tersebut dalam firman Allah dalam surat al-Baqoroh Ayat 241. Artinya: Dan istri-istri yang diceraikan berhak mendapat Mut’ah (pemberian saguhati) dengan cara yang patut, sebagai suatu tanggungan yang wajib atas orang-orang yang takwa.
Inti dari ayat tersebut merupakan perwujudan mendapatkan persesuaian kepada Hukum Islam dalam hal ini nafkah setelah nafkah ‘iddah habis. Mut’ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu (beberapa) manfa’at atau kesenangan. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberian Mut’ah seorang suami terhadap Isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan Isteri tersebut, dan juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kehawatiran terhadap penghinaan kaum Pria terhadapnya.[17]

Nafkah Mut’ah dalam Kompilasi Hukum Islam: Mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan mut’ah wajib diberikan oleh mantan Suami dengan syarat:
a.       Belum ditetapkan mahar bagi Isteri Ba’da Dukhul.
b.      Perceraian itu atas kehendak suami





[1] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, Ilmu
Fiqh Jilid II, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama. 1984/1985. h. 148.
[2] Sayyid Sabiq, (Red) Moh. Tholib, Fikih Sunnah/Sayyid Sabiq, Bandung: Alma‟arif.
1997. h.73.
[3] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 947.
[4] Yahya Abdurrahman, (Red) Mujahidin Muhayan, Fikih Wanita Hamil/Yahya
Abdurrahman al-Khathib, Jakarta: Qisthi Press, 2005, h. 164.


[6] Subulus Salam (III/414)
[7] Ahmad Tirmidzi, dkk, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. 2013, h.471.
[8] Syayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadits, Bandung : CV. Sinar Baru
Bandung. 1993, h. 414.
[9] Sayyid Sabiq, Op.Cit, h.83.
[10] Sayyid Sabiq, Op.Cit, h.84.
[11] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2009, h. 166.
[12] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet. ke-56, 2012,
h.422.
[13] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan
Bintang, Cet. 1. 1974, h.144.
[14] Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al Umm, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008. h.422.
[15] Dijelaskan dalam Pasal 131 Ayat (2), Pasal 116, Pasal 146 Ayat (2), dan Pasal 131
Ayat (4) Kompilasi Hukum Islam.
[16] Muhammad Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Maz|hab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008), 423.
[17] Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A. Fiqih Munakahat, (Jakarta Timur: Prenanda Media, 2003), 92-93.

Posting Komentar

0 Komentar