Akad Pernikahan - Akad Nikah - Fiqh Munakahat - Fikih


AKAD PERNIKAHAN



Dalam kitab “Fath al-Wahab”, diterangkan bahwa rukun pernikahan terdapat lima rukun: calon suami, calon isteri, wali, dua orang saksi dan ijab kabul (shiggat).[1]
Secara istilah arti nikah adalah akad yang telah terkenal yang mengandung rukun-rukun serta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk berkumpul. Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan nikah sebagai akad yang menghalalkan untuk bersenang-senang diantara masing-masing pihak atas dasar syari’at.[2]
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat simpulkan bahwa yang menjadi inti pokok dari suatu pernikahan adalah akad (perjanjian), yaitu serah terima antara wali calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Penyerahan dan penerimaan suatu tanggungjawab dalam arti yang luas untuk mencapai satu tujuan pernikahan yang telah terjadi pada saat akad nikah, disamping penghalalan bercampur antara keduanya sebagai seorang suami dan seorang isteri.
Pengertian pernikahan dapat juga ditemukan dalam perudangan-undangan negara UU No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan pada pasal 1 ialah : “Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Kemudian, akad nikah dapat dinyatakan sah, jika akad nikah tesebut memenuhi dua rukun, yaitu ijab dan kabul (Keridhoan dan persetujuan laki-laki dan perempuan untuk menikah.[3]
1.         Syarat sah akad nikah
Syarat- syarat sah dalam akad nikah adalah:
a.       Persetujuan atau izin dari wali wanita
Wali adalah orang yang diserahi kuasa dalam pernikahan (seorang wanita). Yang menjadi wali adalah laki-laki dari keluarga pihak wanita, dimulai dari yang paling dekat hubungannya, lalu setelahnya (hingga kerabat yang paling jauh). Mereka adalah orang-orang yang akan menanggung malu jika wanita tersebut menikah dengan orang yang tidak sepadan, jika ternyata diketahui bahwa wali nikah wanita tersebut orang lain selain mereka.
b.      Hadirnya dua orang saksi yang baik agamanya.
Dari ‘Aisyah r.a, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
لاَ نِكاَحَ إِ لاَّ بِوَلِيٍّ وَشَا هِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali dan kedua orang saksi yang adil (baik agamanya)”.[4]
2.         Lafazh Ijab dan Qabul
Akad nikah bisa dilaksanakan dengan berbagai redaksi yang bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang melaksanakan akad. Maksudnya, ucapan yang akan disampaikan menunjukan keseriusan untuk melangsungkan sebuah pernikahan, dan ucapan tersebut dapat dipahami oleh kedua orang saksi.
Contohnya adalah, untuk menerima pernikahan tersebut seorang calon suami mengatakan “Saya setuju” “Saya terima”, “saya menerimanya” ataupun “saya meridhoinya”. Sedangkan untuk lafazh ijab, seorang wali dapat mengatakan “saya nikahkan engkau…” ataupun “saya kawinkan engkau…”
Tekhnik ijab qabul bisa diawali dengan penyerahan dari wali perempuan yang kemudian diterima oleh pengantin laki-laki, atau diawali dengan permintaan dari pihak pengantin laki-laki yang kemudian diterima dan diserahkan oleh pihak wali perempuan. Contoh kalimatnya sebagaimana di bawah ini:
Wali perempuan mengucapkan: “Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama... dengan maskawin... tunai”
Mempelai laki-laki mengucapkan: “Saya terima nikahnya... binti... dengan maskawin... tunai.” Atau mempelai laki-laki: “Nikahkanlah saya dengan... binti... dengan maskawin... tunai.”
Wali perempuan: “Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama... dengan maskawin... tunai.”
Syaikhul Islam rahimallah mengatakan: “Akad nikah dianggap sah dengan bahasa, ucapan dan perbuatan apa saja yang dianggap sah oleh orang banyak. Demikian pula akad-akad yang lainnya”.
Menurut al- Bani rahimallah, suatu akad nikah telah sah jika terdapat ucap ijab dan kabul dan kedua orang saksi, walaupun dengan bahasa apapun.
Akad nikah juga bisa dilakukan dengan lafazh hibah, menjual, ataupun memberikan, selama orang yang diajak bicara memahami maksud yang dituju. Karena, perkataan yang tersebut adalah akad, sedangkan suatu akad tidak terdapat lafazh yang khusus yang menentukan sah nya akad tersebut. Bahkan, semua lafazh dapat digunakan, jika makna lafazh tersebut dapat dipahami sebagaimana yang dimaksudkan oleh syar’i. Artinya, terdapat kesamaan antara lafazh yang digunakan dan maknanya sesuai syar’i.
Dari Sahal bin Sa’ad r.a, bahwasanya Nabi saw pernah menikahkan seorang sahabat dengan seorang wanita, dan beliau berkata:
أِذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْانِ.
“Pergilah, aku telah menikahkanmu dengan wanita ini dengan mahar hafalan Alquran yang ada padamu.”
3.         Syarat Ijab Qabul
a.       Satu Majelis
Akad nikah dengan ijab kabul itu harus dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Dimana keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga didalamnya adalah kesinambungan antara ijab dan kabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak terkait.
Sedangkan syarat bahwa antara ijab dan kabul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat syafi'i dalam mazhabnya. Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.
Bila antara ijab dan kabul ada jeda waktu namun tidak ada perkataan yang lain, seperti untuk mengambil nafas atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan maknanya, maka tetap sah.
b.      Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan
Bila masing-masing tidak paham apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya, maka akad itu tidak sah.
c.       Antara Ijab dengan kabul tidak bertentangan
Misalnya bunyi lafaz ijab yang diucapkan oleh seorang wali adalah, “Aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar 1 juta”, lalu lafaz kabulnya yang diucapkan oleh calon seorang suami adalah, “Saya terima nikahnya dengan mahar setengah juta". Maka antar keduanya tidak bersambung dan ijab kabul ini tidak sah. Namun bila jumlah mahar yang disebutkan dalam qabul lebih tinggi dari yang diucapkan dalam ijab, maka hal itu sah.
d.      Keduanya sama-sama sudah tamyiz
Maka bila suami masih belum tamyiz, akad itu tidak sah, atau bila seorang wali belum tamyiz juga tidak syah. Apalagi bila kedua-duanya belum tamyiz, maka lebih tidak sah lagi.

A.    Wali, dan Saksi
a.          Pengertian Wali dan Saksi
Wali adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan dengan laki-laki sesuai dengan syariat Islam. Keberadaan seorang wali mutlak harus ada di dalam sebuah pernikahan. Sebab akad nikah itu terjadi antara wali dengan pengantin laki-laki. Bukan dengan pengantin perempuan.
Sering kali orang salah menduga dalam masalah ini. Sebab demikianlah Islam mengajarkan tentang kemutlakan wali dalam sebuah akad yang intinya adalah menghalalkan kemaluan wanita. Tidak mungkin seorang wanita menghalalkan kemaluannya sendiri dengan menikah tanpa adanya wali.
Menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina. Seperti pada dalil sabda Rasulullah saw:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لا نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ
Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali”. (HR Ahmad dan Empat).
Kemudian, dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi”. (HR Ahmad). 
Sedangkan saksi adalah orang yang menyaksikan dengan sadar pelaksanaan ijab qabul dalam pernikahan.
b.         Persyaratan Wali dan Saksi
1)            Persyaratan Wali
Wali calon pengantin perempuan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
·            Laki-laki
·            Muslim
           Islam, seorang ayah yang bukan beragama islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah swt (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah terdapat pada Alquran, q.s. An- Nisa: 141:

وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”

·            Baligh
           Maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
·            Berakal
           Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.
·            Tidak fasik
·            Merdeka
           Dengan demikian maka seorang budak tidak sah apabila menikahkan anaknya atau anggota keluarganya, meski pun beragama Islam, berakal, baligh. 
·            Mempunyai hak untuk menjadi wali
c.          Tingkatan Wali
Secara garis besar wali nikah dibagi menjadi dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah wali karena ada hubungan darah (kerabat) dan wali hakim adalah orang yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan sebab tertentu pula. Sebagian ulama, diantaranya ulama madzhab Syafii, Hambali dan Hanafi menambahkan bahwa orang yang memerdekakan budak berhak menjadi wali nikah bagi budak yang dimerdekakannya jika tidak ada wali nasab.
Urutan wali dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
·            Ayah kandung
·            Kakek dari pihak ayah, dan seterusnya ke atas
·            Saudara laki-laki kandung (seayah seibu)
·            Saudara laki-laki seayah
·            Paman (saudara ayah) kandung
·            Paman (saudara ayah) seayah
·            Anak laki-laki dari paman kandung
·            Anak laki-laki dari paman seayah
·            Wali hakim
d.         Macam-macam Wali
1)            Wali Mujbir
Mujbir menurut bahasa ialah orang yang memaksa. Sedangkan yang dimaksud dengan wali mujbir ialah wali yang mempunyai hak menikahkan orang yang diwalikan tanpa meminta izin dan menanyakan terlebih dahulu pendapat mereka. Wali mujbir ini berlaku bagi perempuan yang kehilangan kemampuannya, seperti anak yang masih belum sampai umur tamyiz (dewasa), juga berlaku bagi perempuan yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan orang yang kurang sempurna akalnya.
Para ulama berpendapat bahwa yang berhak menjadi wali mujbir bagi orang gila dan kurang mampu akalnya adalah ayahnya, kakeknya dan seterusnya. Sedangkan menurut Imam Syafi’i berada ditangan ayah dan kakeknya.
Para ulama yang membolehkan menikahkan anak perempuan tanpa meminta izin terlebih dahulu memberikan syarat sebagai berikut.
·            Tidak ada permusuhan antara ayah dan anak.
·            Hendaklah dikawinkan dengan orang yang setara (sekufu).
·            Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding).
·            Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
·            Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak.
2)            Wali Hakim
Wewenang wali berpindah ke tangan wali hakim disebabkan oleh dua hal, yaitu:
·            Terjadi pertentangan di antara para wali
·            Tidak adanya wali nasab, baik karena meninggal, hilang atau ghaib
Apabila calon suami yang sekufu telah datang dan calon istri telah setuju sementara walinya tidak ada, baik karna telah meninggal, hilang atau ghaib, maka hakim berhak menikahkannya, kecuali bila calon pengantin bersedia untuk menunggu kedatangan wali tersebut.
3)            Wali Adhal
Wali Adhal adalah wali yang enggan atau menolak untuk menikahkan perempuan yang ada di bawah kewaliannya. Para ulama sepakat bahwa wali tidak boleh menolak untuk menikahkan perempuan yang menjadi tanggung jawabnya dalam perwalian bila ada laki-laki sekufu ingin menikahinya.
Dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin saja menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu menolak menikahkan puterinya sehingga menimbulkan mudharat.
Namun tidak mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan untuk membolehkan wanita menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dengan wali hakim. Tentu harus dilakukan pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga kepada keluarganya dan terutama kepada ayah kandungnya. Dan untuk itu semua diperlukan proses yang tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak orang. Juga harus didengar dengan seksama alasan yang melatar-belakangi orang tuanya tidak mau menikahkannya.
Sehingga pada titik tertentu dimana alasan penolakan wali Adhal itu memang dianggap mengada-ada dan sekedar menghalangi saja, bolehlah pada saat itu hakim yang sah dari pengadilan agama yang resmi memutuskan untuk menggunakan wali hakim. Misalnya untuk menghindari dari resiko zina yang besar kemungkinan akan terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tidak mau tahu.
Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil-alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yang sah dan resmi menurut pengadilan yang ada. Bukan sekedar hakim-hakiman dengan proses kucing-kucingan.
e.          Persyaratan Saksi
Dalam pernikahan harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dengan syarat sebagai berikut:
1)      Beragama Islam
Kedua orang saksi dalam akad nikah harus beragama Islam. Bila salah satunya kafir atau dua-duanya, maka akad itu tidak sah.
2)      Memiliki sifat adil
لاَ نِكَاحَ أِلاِ بِوَلِيٍ وَشَا هِدَئْ عَدْ لٍ                                                    
“Tidak sah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali dan dua orang saksi yang adil”        
Ini adalah syarat yang mutlaq dalam sebuah persaksian pernikahan. Sebab dalilnya menyebutkan bahwa saksi itu harus adil sebagaimana teks hadits. Yang dimaksud adil adalah orang yang bebas dari dosa-dosa besar seperti zina, syirik, durhaka kepada orang tua, minum khamar dan sejenisnya. Selain itu seorang yang adil adalah orang yang menjauhi perbuatan dosa-dosa kecil secara ghalibnya. Termasuk orang yang makan riba (rentenir) dan yang sering bertransaksi dengan akad-akad ribawi, dianggap tidak adil dan tentunya tidak syah sebagai seorang saksi
3)      Berakal dan Baligh
Persaksian anak kecil, orang gila, orang tuli, atau orang yang sedang mabuk, tidak dapat diterima. Sebab, keberadaan mereka tidak berarti sama sekali dalam konteks sebagai saksi pernikahan.
4)      Laki-laki
Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita.
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata, “Telah menjadi sunnah Rasulullah saw bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq”.
Para ulama berselisih pendapat mengenai persaksian dua orang wanita sebagai pengganti salah seorang laki-laki. Sebagian mereka tidak memperbolehkannya dangan dalil: “Tidak sah pernikahan tanpa kehadiran seorang wali dan dua orang saksi yang adil.”
Namun mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi seorang laki-laki seperti yang disebutkan dalam alquran q.s al-Baqarah: 282:
فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
 “...Jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya...”.
Sementara itu, sebagian lainnya membolehkan persaksian tersebut dengan dalil firman Allah q.s Al-Baqarah: 282:
 “... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai....”.
Ibnu Hazm berpendapat sahnya persaksian satu orang pria dan dua orang wanita. Bahkan, ia berpendapat sahnya persaksian empat orang wanita, sebagaimana tercantum dalam kitab al-Muhalla (Masalah ke-1832). Anda dapat melihat perincian masalah ini pada kitab tersebut.
Saya pernah bertanya kepada guru kami, al-Albani: “Apakah menurut engkau akad nikah yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua orang wanita hukumnya sah? Beliau menjawab “Ya.




KESIMPULAN
1.         Akad Pernikahan
Inti pokok dari suatu pernikahan adalah akad (perjanjian), yaitu serah terima antara wali calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Penyerahan dan penerimaan suatu tanggungjawab dalam arti yang luas untuk mencapai satu tujuan pernikahan yang telah terjadi pada saat akad nikah, disamping penghalalang bercampur antara keduanya sebagai seorang suami dan seorang isteri.
a.       Syarat sah akad nikah; Persetujuan atau izin dari wali wanita dan hadirnya dua orang saksi yang baik agamanya.
b.      Lafazh Ijab dan Kabul
Menurut al- Bani rahimallah, suatu akad nikah telah sah jika terdapat ucap ijab dan kabul dan kedua orang saksi, walaupun dengan bahasa apapun.
c.       Syarat Ijab Qabul; Satu Majelis; Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan; Antara Ijab dengan kabul tidak bertentangan; Keduanya sama-sama sudah tamyiz.
2.         Wali, dan Saksi
a.       Persyaratan Wali; Laki-laki; Muslim; Baligh; Berakal; Tidak fasik; Merdeka; Mempunyai hak untuk menjadi wali.
b.      Tingkatan Wali
Wali nikah dibagi menjadi dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Urutan wali dalam pernikahan adalah sebagai berikut; Ayah kandung; Kakek dari pihak ayah, dan seterusnya ke atas; Saudara laki-laki kandung (seayah seibu); Saudara laki-laki seayah; Paman (saudara ayah) kandung; Paman (saudara ayah) seayah; Anak laki-laki dari paman kandung; Anak laki-laki dari paman seayah; Wali hakim.
c.       Macam-macam Wali
Wali Mujbir, Wali Hakim dan Wali Adhal.




[1]               Syaikh al-Islam Abi Yahya Zakaria al-Ansahri, Fath al-Wahab, (Semarang: Toha Putra), Juz. II, hlm. 34.
[2]           Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syahsiyah, (Dar Al- Fikr Al-Arabi: 1957), cet. ke-3.  hlm. 1
[3]           Syaikh Husain bin ‘Audhah al- ‘Awaisyah, Ensiklopedi Fiqih praktis (Beirut Lebanon: Maktabah Islamiyah & Daar Ibni Hazm). cet. ke-1, Jilid III Hal. 36
[4] Ibid. 36-37

Posting Komentar

0 Komentar